Langsung ke konten utama

Sebuah Catatan: Majelis Dzikir Al Khidmah Dalam Rangka Dies Maulidiyah MAKTA IAIN Tulungagung ke-8




Woks

Alhamdulillah saya bisa hadir dalam acara majelis dzikir dan maulidurrasul saw dalam rangka Dies Maulidiyah Majelis Al Khidmah IAIN Tulungagung ke-8 (11/4/21). Acara ini biasa dihelat di kampus karena suasana pandemi maka mengharuskan memindahnya. PPTQ al Hidayah Plosokandang menjadi pilihan menempatkan acara yang sakral ini.

Sejak awal hingga akhir acara saya sudah menyiapkan pena melalui note hp untuk mencatat setiap ilmu yang ada. Ketika mauidhoh hasanah yang disampaikan KH. Anang Muhsin (Pengasuh PP Lirboyo Ngranti Gondang) barulah pena itu menuliskan catatannya. Kata beliau alhamdulillah turut bahagia karena masih ada pemuda di zaman ini yang masih senang dan terus menghidupkan majelis dzikir. Karena tidak semua orang paham akan esensi majelis dzikir tersebut. Padahal jika tau bahwa majelis dzikir itu ibarat mutiara yang lagi-lagi tidak setiap orang paham maknanya. Seperti halnya sapi yang lebih mementingkan rumput dan seharusnya manusia memilih mutiara daripada rumput. Kata beliau jika pemuda masih mau bergerak setidaknya kita merasa bahagia karena di tangan pemuda urusan umat, di telapak kaki pemuda nasib bangsa berada.

Beliau juga memotivasi kita dengan menceritakan proses menimba ilmunya Syaikh Abdul Qadir Jailani. Tentu kita tahu bahwa beliau Syaikh Abdul Qadir Jailani menimba ilmu sejak kecil padahal saat itu ibunya masih menaruh kekhawatiran. Akhirnya ketika ibunya ridho dengan proses menimba ilmu tersebut maka berangkatlah Abdul Qadir Jailani kecil dengan membawa 40 dirham uang yang diletakan di saku dalam bawah ketiak. Ia juga dipesani sang ibu untuk berlaku jujur kepada siapapun. Dengan kejujuran itulah dalam sejarah beliau mampu menaubatkan penjahat yang akan merampok uangnya.

Kejujuran, rasa semangat dalam menimba ilmu serta keridhoan dari sang ibu justru menjadi kunci diangkatnya derajat Syaikh Abdul Qadir Jailani menjadi kekasihNya. Tak kalah masyurnya yaitu kisah Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapat suara ghaib berupa pembebasan diri untuk boleh tidak melakukan shalat (syariat). Hingga akhirnya dalam sejarah Syaikh Abdul Qadir Jailani mengetahui bahwa semua itu adalah ulah syeitan yang menggoda.

Dalam kitab Irsyadul Ibad justru diterangkan bahwa syariat itu adalah haqqul ubudiyah. Termasuk dalam kitab Kifayatu Adzkia diterangkan bahwa selama masih hamba kita tetap berkewajiban beribadah. Maka dawuh Syaikh Abdul Qadir Jailani benar "wong Kanjeng Nabi Muhammad saw yang ma'sum dan dijamin masuk syurga masih melakukan ibadah, apalagi cuma saya". Maka dari sanalah kecurigaan beliau bahwa semua hanya tipu daya syeitan.

Salah satu keistimewaan Syaikh Abdul Qadir Jailani sehingga menjadi shultanul auliya ialah amalan beliau yaitu melanggengkan wudhu (daimul wudhu) setidaknya selama 40 tahun. Hal itu diungkapkan oleh khodamnya yaitu Syaikh Abdul Fattah al Harawi bahwa beliau shalat shubuh dengan wudhu dari shalat isya. Hal itu pula yang pernah dilakukan oleh sahabat Bilal bin Rabah yang selalu sholat sunnah wudhu dan menjadikannya istimewa di mata Kanjeng Nabi Muhammad saw. Bahkan konon terompah sahabat Bilal sudah terdengar di syurga.

Salah satu hal yang menjadi karomah Syaikh Abdul Qadir Jailani yaitu lalat tidak mau hinggap ke tubuh beliau alasanya karena ibadahku bukan untuk menuju manisnya dunia, melainkan semua karena Allah semata. Hal itu seperti yang diungkapkan Syaikh Ibnu Athaillah Syakandary dalam Hikamnya bahwa jangan sampai kita berjalan dari mahluk ke mahluk (irhal min kaun minal muqawwin), berjalanlah hanya kepada Allah.

Terakhir beliau juga termasuk orang yang sangat sayang kepada faqir miskin bahkan rela duduk bersama mereka. Hal itu didasari karena idola beliau adalah Rasulullah SAW. Maka dari itu agar kita juga ikut dalam rombongan beliau selalulah bershalawat dan berkunajat wasilah beliau. Minimal kita berdoa kepada Allah, الهم من الكاتوتين.

the woks institute l rumah peradaban 13/4/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...