Langsung ke konten utama

Literasi Masjid: Menjadi Pemangku Masyarakat Kecil




Woks

Barokahnya orang-orang bodoh kata Gus Baha Islam setidaknya menjadi berkembang. Ada orang yang biasa saja tapi mampu menghidupkan masjid, mushola, madin, TPQ dan lembaga Islam lainya. Bukan berarti Islam hadir karena orang tersebut tapi ini konteks penyebaran dakwah. Ini konteks di mana Islam itu menyebar dengan pesat karena memang agama ini sudah dipersiapkan oleh pemiliknya yaitu Allah swt.

Banyak di antara kita yang dijumpai misalnya karena adanya mutasi dan penempatan PNS ke berbagai daerah berkahnya adalah Islam bisa hidup di daerah tersebut. Maka dari itu kata Gus Baha, Mbah Maimun sangat menaruh hormat kepada siapa saja termasuk ke pegawai pemerintahan karena mereka telah ikut andil dalam menghidupkan dan mengembangkan agamanya Allah itu.

Saya pun memiliki teman demikian ia selepas lulus dari kuliah langsung pulang ke kampung halaman dan menghidupi mushola sekitar. Anak-anak dan beberapa orang tua sudah siap menanti kiprahnya selama menimba ilmu baik dari pesantren maupun dari kampus. Anggapan orang yang mengajar di TPQ itu rendahan tentu salah besar, justru di sanalah awal kebesaran terlahir. Anak-anak diajari pondasi dasar agama sejak awal, jika pondasinya sudah kuat maka ke depanya bisa sangat mudah. Bukankah selama ini kebesaran Islam hanya menjadi cerita sejarah? karena selama ini kita tercerabut dari dasar Islam yaitu mempelajari kitab sucinya.

Anak-anak sekitar merasa terkena dampak dan manfaat di mana mereka dapat belajar membaca qur'an sejak dini, bahkan bisa mengikuti kegiatan lain seperti belajar pidato, baca kitab, membuat kaligrafi, seni sholawat hingga menikmati sajian buku di perpustakaan. Tentu meramu anak dan orang tua agar gemar ke masjid sangatlah susah dan memang perlu perjuangan. Selain strategi khusus untuk menangani orang dengan ragam latar belakang kita juga dituntut tahan banting karena permasalahan masjid sangatlah komplek. Utamanya persoalan keuangan dan sistem pembagian kerja, kepanitiaan, piket dan keamanan.

Saya kadang berpikir bahwa jika seseorang pulang dari rantau hal yang sudah pasti menunggu adalah masjid untuk dihidupi. Masjid atau musholla sekitar rumah memang perlu perlakuan khusus agar tempat itu bisa berfungsi menaungi umat. Jangan sampai masjid dibangun hanya sekedar prestise kebanggaan semata sedangkan fungsi utamanya rapuh. Tentu kita tahu dan bahkan ini yang mengerikan adalah masjid menjadi sarang pemusatan ideologi ekstrimis, tempat tarung politik hingga terbengkalai ditinggal jamaahnya. Maka dari itu fenomena yang telah ada harus disikapi dengan beragam cara agar masjid menjadi pionir dalam membina umat.

Menjadi pemangku masjid tentu tidak mudah. Kita harus punya manajemen yang baik serta keikhlasan tanpa itu semua karakter yang dibangun tidak akan berdiri. Sebenarnya yang kita cari di masjid adalah keridhoan Allah tidak yang lain. Sehingga melalui masjid kita memiliki inspirasi untuk menghidupinya bukan numpang hidup di sana.

the woks institute l rumah peradaban 25/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...