Woks
Masjid sebagai tempat ibadah, peradaban dan perjuangan dakwah tersebut tentu mewadahi siapapun tanpa pernah memandang gender termasuk dalam kajianya. Sejak dulu hingga saat ini fungsi praksis masjid adalah sebagai pusat peradaban orang-orang menimba ilmu agama walaupun di akhir abad ini orang-orang bisa mengambil ilmu dari siapapun, di mana pun dan kapan pun istilah bekennya menurut Kuntowijoyo ialah muslim tanpa masjid.
Salah satu sisi menarik dari masjid selain karena keberadaan perpustakaan juga karena adanya kajian baik berupa kegiatan harian atau mingguan. Biasanya diisi kajian kepemudaan atau rutinan khusus orang tua sedangkan aktivitas untuk anak biasanya terdapat di pagi dan sore hari. Salah satu kajian menarik yang dibahas di masjid adalah tentang masalah kewanitaan atau biasa kita kenal dengan keputrian.
Kita tahu kajian mengenai wanita terutama seputar fikih jika di sekolah formal hanya mendapat sebagian kecil saja. Porsi waktu yang sangat singkat itu tentu tidak mampu menjawab problematika kewanitaan yang begitu kompleks itu. Maka melalui kelas-kelas atau tematik khusus kewanitaan masjid mewadahi kajian tersebut. Dulu kajian keagamaan diampu oleh anak-anak rohis tapi seiring berjalannya waktu siapa saja bisa mengaji fikih kewanitaan tersebut. Utamanya oleh para assatidz yang tergabung dalam devisi pendidikan dan dakwah.
Keputrian tentu masalah yang pelik. tidak hanya dikuasai oleh perempuan saja akan tetapi laki-laki calon pemimpin keluarga pun wajib hukumnya paham akan hal ini. Sehingga saat membangun rumah tangga nanti tidak kelabakan dalam menghadapi problem keseharian itu. Mempelajari fikih wanita yang diajarkan melalui keputrian itu sesungguhnya merupakan pelajaran wajib. Kita tidak hanya sekedar tahu batas minimal maksimal perempuan mengeluarkan darah, macam darah seperti istihadoh, siklus haid nifas, mandi, sesuci hingga perkara lainya seperti gono-gini, talaq, dan warist.
Tentu di era modern seperti saat ini siklus aqil baligh pada anak semakin cepat karena perkembangan lingkungan yang super kuat. Tidak hanya itu keinginan untuk memahami, menandai serta mengaktualisasikan anak zaman sekarang cenderung rendah. Sehingga perkara keperempuanan seperti dianggap remeh. Padahal betapa pentingnya hal itu termasuk bagi kaum adam. Di sinilah keuntungan anak yang sekolah di lingkungan pesantren setidaknya masalah keputrian akan terus dipelajari sebagai pondasi dasar bekal mereka mengarungi kehidupan. Jika pondasi dasar sudah kuat niscaya hal-hal kecil itu bisa terus dikaji dan diwariskan kepada orang lain. Sebab pengetahuan tentang wanita terus berkembang seiring perkembangan zaman, pun ilmu fikih akan terus dinamis.
the woks institute l rumah peradaban 27/4/21
Komentar
Posting Komentar