Woks
Saat musim panen tiba orang di desa nampak berbahagia. Yang dimaksud panen di sini adalah panen padi, sedangkan palawija tidak mengenal musim. Orang-orang di desa selalu disibukan dengan hiruk pikuk kebutuhan, pergerakan ekonomi hingga perhelatan hajatan. Kebahagiaan mereka tampak berlipat ketika harga padi melambung tinggi.
Pasca panen raya pergerakan uang memang begitu mengalir deras. Bahkan orang di desa khususnya daerah kami sering berseloroh bahwa "duit wis kaya banyu" atau uang seperti aliran air deres mengalir tanpa bekas. Budaya konsumtif pasca panen memang tidak mengenal ujung. Tidak ada standar orang dalam mengeluarkan hartanya. Selama semua adalah milik sendiri orang desa pasti akan menggunakannya biasanya tanpa perhitungan yang matang.
Soal hajatan misalnya di sana bisa kita lihat seberapa pun taraf ekonomi seseorang tuan hajat bisa sangat mungkin melakukan event tersebut dengan mewah, orang Jawa Ngapak sering menyebut "Bagen tekor sing penting kesohor". Apalagi saat ini seseorang yang melaksanakan hajatan bisa terbantu dengan menggadaikan sesuatu ke pegadaian atau meminjam uang ke bank. Tapi dalam tulisan ini kita tidak membahas hal itu. Yang kita bahas ialah tradisi majengan ketika tetangga memiliki hajatan baik menyertakan tanggapan atau dokmong (dodok bari ngomong) atau bisa juga full music.
Majengan adalah tradisi sambatan (minta bantuan) kepada sesama tetangga dalam rangka menyukseskan acara hajatan. Acara hajatan tersebut bisa berupa khitanan dan nikahan. Para sanak saudara dan tetangga dekat diminta menjadi pengejeg atau tukang laden. Biasanya mereka akan menyesuaikan dengan posisinya masing-masing, ada yang dibagian terima tamu, juru catat, memberi bingkisan, menerima beras, mencuci piring, masak, penunggu daringan (juru sesajen), menyiapkan air minum, juru parkir, hingga tim keamanan.
Hal-hal demikian masih jamak kita jumpai dalam perhelatan hajatan masyarakat Pantura khususnya Indramayu barat. Majengan dianggap sebagai manajemen tetangga dalam berorganisasi. Hal itu juga yang tidak menjadi prasyarat seorang pengejeg sebagai organisatoris, artinya semua orang bisa berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Menjadi unik dalam majengan ini para tetangga tidak diberi upah layaknya orang buruh atau kerja, semua berdasarkan keikhlasan dan kesengkuyungan (guyup rukun). Hal itu terjadi secara alamiah karena orang desa sebagai manusia sosial akan berpikir nanti suatu saat akan bergantian melakukan hal yang sama. Hal ini berlaku pula pada tetangga ketika ada yang meninggal.
Tapi ada hal yang menjadi mimpi buruk bagi tradisi majengan ini yaitu dengan hadirnya event organizer (EO). Untuk acara pernikahan saat ini ada event wedding termasuk acara ulang tahun, rasulan dan lainya sudah satu paket dengan penyelenggara EO tersebut. Bisa dibayangkan dengan adanya EO tetangga tidak terbantukan lagi karena crew EO sudah menempati posisinya masing-masing bahkan soal menu masakan si tuan rumah bisa memesanya sesuka hati. Hal itu dipermudah dengan adanya paket yang disediakan team EO sebagai program hajat yang menggiurkan bahkan sampai ada diskon dan hadiahnya pula.
Dulu EO hanya dipakai dalam resepsi hajat orang di perkotaan tapi kini EO sudah merambah ke pedesaan terutama mereka tuan hajat orang berduit dan punya gelar. Mungkin malu jika hajatan tidak mewah apalagi jika crewnya tetangga yang orang desa itu. Belum lagi soal hiburan atau tanggapan di desa pun kini sudah banyak tuan hajat yang nanggap hiburan ala modern seperti gambus, qasidah modern, organ, hingga mengundang artis. Hal tersebut terjadi karena selain praktis biayanya juga sangat terjangkau berbeda dengan tanggapan tradisional seperti sintren dan sandiwara yang membawa banyak crew tentu biayanya sangat mahal.
Jika demikian di sinilah banyak pergeseran budaya karena cara kota sudah merasuk ke desa. Majengan menjadi prestise dan hanya sekedar mendongkrak nama sedangkan majengan zaman dulu tak lain berfungsi sebagai pengikat sosial manusia untuk saling tolong-menolong. Semoga saja masyarakat kembali sadar bahwa esensi dari walimah atau hajatan bukan dari panggung, dekorasi, atau hiburanya melainkan semangat gotong-royong yang dibangun atas dasar manusia saling membutuhkan satu dengan lainya.
the woks institute l rumah peradaban 17/4/21
Komentar
Posting Komentar