Woks
Beberapa kesempatan Gus dur sangat sering berkata tentang syarhul hikam bahwa ada orang-orang yang ikhlas hatinya menuntun kita menuju jalan kepada Allah. Orang-orang itu seperti dawuh Syeikh Ibnu Athaillah Syakandary dalam al Hikamnya Lâ tashhab man lâ yunhidhuka hâluhu walâ yadulluka `alallah maqaluhu/ janganlah berkawan dengan orang yang tidak membangkitkan semangatmu untuk taat kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkanmu ke jalan Allah” (al-Hikam, No. 53).
Lantas siapakah orang-orang yang mengajak kita kepada Allah itu tidak lain dan tidak bukan adalah ulama. Kalau dalam bahasa Gus Dur yaitu kiai kampung. Mengapa mereka karena kiai kampung sangat ikhlas dalam berjuang menghidupi majelis taklim, menghidupi TPQ, mengajarkan Qur'an, memimpin kita kepada kebenaran dan lain sebagainya. Perlu dicatat pula bahwa kiai kampung selalu menjadi media rekonsiliasi antar beragam konflik. Mereka menjadi embun menyejuk. Menjadi juru damai kepada sesuatu ketegangan di masyarakat.
Apakah ada kiai kampung yang membuat kompor gas sehingga sumbu terbakar di mana-mana. Rasanya tidak ada kecuali si sumbu pendek itu sendiri. Di sinilah istimewanya kiai kampung sehingga Gus Dur menaruh hormat kepada mereka. Hal itu terbukti saat Gus Dur masih hidup beliau sering berkunjung ke plosok desa dan tak lupa ia sowan ke salah satu kiai kampung di sana.
Doa-doa orang ikhlas memang maqbul, terijabah langsung tembus ke langit. Begitulah kiranya kiai kampung orang sederhana yang hidupnya hanya mendarmabaktikan kepada Allah. Mereka sudah tidak memikirkan kepentingan dunia selain umat. Mereka juga sudah tidak memikirkan diri sendiri selain ngaji dan lainya. Hidup hanya bagian dari perjuangan dan pengabdian. Orang-orang yang wushul kepada Allah memang sudah di maqom yang ia sendiri tidak peduli dengan omongan mahluk. Sehingga ketika disakiti sekalipun ia sudah menyerahkan semuanya kepada Allah. Sehingga manusia bukan di ranah menghakimi tapi menjadi hakim bagi diri sendiri.
Para kiai kampung hidup hanya dengan ilmu amal dan sesuai petunjuk Allah. Sehingga kehidupan mereka benar-benar telah dihayati sebagai perjalanan yang penuh dengan hakikat. Karena mereka selalu mensifati Allah dengan penuh penjiwaan. Maka Kehidupannya nampak tenang dan damai walau dalam keadaan serba kekurangan. Mereka telah menyamudra sehingga segala macam perbedaan dari segala sungai ditampung dengan ringanya. Samudera tidak takut kotor airnya justru merekalah penjernihnya. Mereka akan menjadi pelayan masyarakat hingga ajal menjemput.
the woks Institute l rumah peradaban 29/4/21
Komentar
Posting Komentar