Langsung ke konten utama

Mengingat Bahasa dan Komunikasi Anak Yang Unik




Woks

Orang tua akan mengingat perkembangan anak berdasarkan banyak hal karena setiap anak punya keistimewaan tersendiri termasuk dalam bahasa. Awal mula anak belajar bicara misalnya menjadi hal yang menarik untuk diamati karena tidak semua fase ini dilalui oleh anak. Maka jangan heran jika masih sering kita jumpai anak-anak yang terganggu perkembangan bahasanya ketika bicara mungkin karena banyak faktor misalnya alasan genetik, medis hingga kecelakaan.

Bahasa anak yang lucu itu tentu kita catat perkembangan terutama hingga mereka masuk ke bangku sekolah. Saat balita anak sangat mudah menangis bahkan hingga mereka di sekolah dasar pun tangis masih sering kita jumpai. Jangan salah mengartikan bahwa tangisan tidak selamanya negatif justru lewat menangislah sejatinya ia berkomunikasi. Karena ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan lewat bahasa maka menangis adalah pilihan yang praktis dalam menyampaikan sesuatu.

Jika tahu kadang kita mungkin berpikir mengapa fase perkembangan bahasa dan gaya komunikasi mereka tak jauh berbeda dengan orang yang kini telah dewasa. Dulu ketika masih kanak-kanak seolah-olah kita pun pernah melewati satu komunikasi bahasa yang sama. Misalnya untuk tidak disebut nakal kadang anak-anak melakukan komunikasi dengan menuliskan sesuatu di meja, tembok, pintu wc, hingga pepohonan. Mereka menuliskan apa saja biasanya menggunakan tipe x, tinta, atau pecahan genting. Dari komunikasi itulah kita melihat mereka seolah-olah tengah menjadi seniman jalanan. Aksi vandalisme memang masih menjadi bagian dari cara berkomunikasi. Seberapa pun tidak pentingnya hal itu yang jelas bahasa anak-anak begitu terlihat homogen karena belum terbukanya pikiran mereka secara utuh. Yang mereka lakukan hanya baru ditahap meniru. Apa yang pernah orang dewasa lakukan anak-anak akan cenderung menirunya.

Kecenderungan imitatif memang bisa menjadi faktor terkait perkembangan bahasa anak. Jika di lingkungan yang sering berkata kotor maka anak pasti akan menirunya begitu pula sebaliknya. Maka tidak aneh jika lingkungan sangat berpengaruh dalam menciptakan karakter. Pepatah lawas berkata jika ingin tahu seseorang maka lihatlah temanya.

Selanjutnya kita juga mengingat bahwa anak-anak itu jiwanya kreatif. Walaupun saat ini gadget dan media sosial sudah sangat masif dengan mereka akan tetapi faktanya ketika di kelas anak-anak ada yang sering surat-suratan. Media surat dengan tulisan sederhana itu menjadi cara mereka berkomunikasi dengan anak lainya. Entah surat yang kita sebut sebagai bahasa cinta monyet atau sekedar iseng bermain tebak-tebakan. Yang jelas anak-anak begitu menikmatinya. Bahkan kadangkala ketika di Pramuka, anak-anak malah diajari penggunaan bahasa sandi dengan berbagaimacam ekspresi. Mereka saling bertukar gagasan dengan sekehendaknya dan orang dewasa tidak bisa mendikte mereka.

Satu lagi yang tak kalah menarik yaitu bahasa Pulogo. Penggunaan bahasa Pulogo entah sejak kapan mereka ketahui akan tetapi saat kita kanak-kanak juga pernah menggunakan bahasa ini secara alamiah. Entah karena dampak media atau keseringan mengingat hal unik sehingga kita dengan mudah melafalkan bahasa itu. Uniknya antar satu dengan lainya sama-sama memahaminya. Misalnya untuk mengatakan "kamu mau ke mana", bahasa Pulogonya "kagamugu magumugu kegemaganaga" atau "ayo kita makan bareng", "agayogo kigitaga magakagan bagaregeng". Jika kita mau menyelami dunia anak pastinya masih banyak ditemui bahasa lain yang unik selain bahasa pulogo.

Inilah salah satu potret bahasa anak yang menarik. Jika orang tua sadar akan potensi dan bakat anak pasti mereka lebih hati-hati dalam memberikan pendidikan pada mereka. Karena setiap anak itu dilahirkan dengan membawa potensinya maka kadangkala saya sering berpikir andai kita bisa diberi kemampuan mencatat bahasa anak yang unik itu pasti kita memiliki kamus yang kaya tentang kecakapan berbicara, berbahasa pada anak.

the woks institute l rumah peradaban 3/4/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...