Woks
Jika kita berkunjung menyelam ke dalam samudera hati terdalam di sana kita akan menemukan tanda tanya. Tanda di mana kita akan selalu bertanya apa bagaimana dan mengapa. Selanjutnya kita akan berjumpa tanda seru. Tanda di mana segala perintah berpadu membentuk keingintahuan secara lebih jauh. Terakhir kita tak akan menemui tanda apapun alias tak ada apa-apa. Itu pertanda bahwa hati sudah tak di dasari berupa alasan atau pertanyaan yang ada hanya cinta, sunyi dan keikhlasan. Maka jika kita berbuat sesuatu dengan banyak alasan jangan-jangan kita memang masih di tepian pantai hati, indah memang tapi sebenarnya itu hanyalah tipuan. Seharusnya menyelamlah lebih dalam hingga akhirnya keridhoan memelukmu dengan erat.
Begitulah hati jika kita ingin bersusah payah menyelam maka tak akan sampai. Maka benarlah bahwa para salik menempuh perjalanan panjang demi memperbaiki hati bahkan mereka sampai di titik putus asa. Akan tetapi jangan pernah putus asa dan teruslah melambungkan do'a. Bukankah do'a adalah pemberontak senyap menyelinap memeluk ragamu, mengoyak singgasana Tuhan. Selama dalam masa proses kita diperintah untuk terus optimis bahwa selama ada niat dan tekad kuat kehidupan akan berubah.
Saking dalamnya hati sampai-sampai para pujangga menantang, bahwa sedalamnya samudera masih bisa diukur tapi dalamnya hati tak bisa diukur. Maka pantas dalam sabda Nabi bahwa segumpal daging itu baik maka baiklah kita dan jika ia buruk maka buruklah kita dan segumpal daging itu adalah hati. Orang-orang yang telah di maqom kesadaran transendental pasti akan selalu memperhatikan hatinya. Berbeda dengan orang biasa yang dimensi kerjanya hanya fisik sekata. Sehingga kalangan yang ini tak jauh berbeda dengan hewan.
Perlulah kita memperhatikan hati itu sebagai poros yang mengatur segala keinginan. Hati nurani begitulah kiranya yang sering kita mintai pertimbangan dalam bahasa Freud disebut superego dan itupun sangat berbeda. Superego yang dilukiskan Freud tak lebih dari sebuah dorongan yang dibentuk lewat basic instinc sedangkan hati nurani ada dorongan teologis yang bersemayam di sana. Sehingga hati tidak hanya dimaknai fisik semata melainkan bernilai ketuhanan.
Jangan sampai hati terpuruk dibiarkan seperti rumah kosong. Buatlah ia selalu hidup dengan berbagai aktivitas kebaikan. Semakin hati diajak berbuat baik maka merah meronalah ia akan tetapi sebaliknya jika ia dibuat hasud, iri, sombong, tamak, membenci, menggunjing atau segala macam sifat buruk lainya maka lambat laun hati akan keropos bagai daun dimakan ulat. Dalam Islam kita diperintah untuk tazkiya an nafs alias membersihkan hati termasuk bagi orang Jawa ada istilah "ati suci marganing rahayu" hati yang bersih akan melahirkan laku yang baik. Maka pantaslah jika kalangan ahlul qohwa membawa akronim ngopi alias ngopeni ati.
Jika hati telah seluas samudera maka manusia akan banyak ampunanya. Namun sebaliknya jika hati gelap gulita, sempit dan tak lapang biasanya orang mudah mengutuk dan menghakimi. Ada hal yang lebih bahaya daripada orang yang merokok kata mayoritas ahli medis berbahaya menyebabkan flek hitam dan bisa membuat kanker hingga jantung. Yang lebih bahaya dari itu ialah hati yang dibiarkan saling membenci dan angkara murka menguasai. Hati tersebut tidak hanya hitam pekat tapi membusuk dalam pandangan hakikat. Sekarang kita bisa memilih untuk lebih fokus ngopeni hati sendiri daripada mengurusi kesalahan orang lain.
the woks Institute l rumah peradaban 30/4/21
Komentar
Posting Komentar