Langsung ke konten utama

Kuliah Online




Woks

Selama pandemi pembelajaran kita tahu semua terbantu dengan adanya teknologi berupa gadget dan piranti pendukung lainya. Semua hampir pekerjaan dan aktivitas termasuk lintas jenjang pendidikan beralih dari aktivitas tatap muka menjadi daring alias dalam jaringan. WFH yang selama ini sudah kita lewati tentu masih menyisakan segala macam masalah dan kekurangan. Di sana sini mahasiswa juga mengalami berbagai keluhan lebih lagi siswa di sekolah dasar.

Kuliah online begitulah yang dipilih dalam rangka mengganti perkuliahan tatap muka. Cara pengajarannya hampir sama hanya yang membedakannya yaitu ruang waktu dan gerak. Melalui perkuliahan online mahasiswa justru tidak leluasa dan memang sangat terbatas. Tapi apa mau dikata kita tidak bisa protes terhadap keadaan yang menuntut hal itu dilakukan daripada tidak sama sekali. Tentu polemik itu tak ada ujungnya jika saja pandemi ini segera berakhir.

Beberapa fenomena kuliah online yang ditemui di lapangan yaitu dosen menerangkan sedangkan mahasiswa sedikit sekali memperhatikan bahkan cenderung ditinggal tidur. Cara kuliah online hanya seperti kaset kusut alias radio bodol yang sangat minim perhatian mahasiswa lebih lagi mencatat. Ya mencatat materi menjadi hal yang hilang karena anggapan mahasiswa model pembelajaran demikian bisa dijumpai lewat internet. Bahkan memilih tema perkuliahan bisa lebih kaya melalui berbagai macam program webinar dan hampir semuanya gratis.

Salah satu hal yang menyedihkan dalam kuliah online adalah hilangnya etika. Bagaimana mungkin etika dipakai wong sistem online justru mempersempit jarak dan ruang. Dosen menerangkan dan mahasiswa ngopi sambil meng-mute kan hp sering sekali kita jumpai dan hal itu juga bisa ditebak. Sehingga perkuliahan tinggal menyisakan presentasi dan hal itu yang masih diburu oleh mahasiswa.

Soal etika atau sistem penghormatan melalui media online jika kita mau belajar bolehlah kisah Habib Mundzir dan Umbu Landu menjadi sebuah kisah menarik untuk kita hayati. Pertama, Habib Mundzir Fuad Al Musawa pernah ditelpon secara mendadak oleh Habib Umar bin Hafidz yang tak lain merupakan gurunya. Pada saat itu padahal acara Majelis Rasulullah Saw sedang berlangsung, dengan sigap dari atas panggung Habib Mundzir mengangkat telpon gurunya itu. Dengan penuh ta'dhim beliau berkomunikasi dengan Habib Umar percis seperti orang sedang berhadapan langsung. Hal itulah adab atau etika yang dilakukan oleh Habib Mundzir bahwa walaupun melalui pesawat telepon beliau tidak membedakanya karena koneksi ruhani yang sudah nyambung.

Kedua, cerita Umbu Landu Paranggi yang tak lain merupakan guru Cak Nun sekaligus mendapat julukan Presiden Penyair Malioboro. Umbu ketika baru datang dari Bali kata Cak Nun, beliau tidak ingin menginjak tanah Jogja hingga semua hal dilewati termasuk ketika ia ingin menonton video Cak Nun melalui YouTube. Bayangkan Umbu mempersiapkan diri dengan serapih mungkin termasuk memakai wewangian hanya untuk menonton Cak Nun di YouTube. Bagi Umbu media tidak bisa menjadi pembatas buat hal yang sifatnya ruhani maka dari itu pengangunganya kepada murid kinasihnya itu sama seperti di alam nyata.

Apakah dalam kuliah online mahasiswa demikian? anda bisa menjawabnya sendiri. Andai jika semua orang sadar akan dirinya pasti dimensi lain yang bercorak esoteris bisa lebih diperhatikan. Lebih lagi soal pembelajaran jika kita sadar membuka lagi dalam Kitab Ta'lim Mutaalim karangan Syaikh Az Zarnuji bahwa tetaplah menjadi sami'in walaupun sudah mendengarnya seribu kali hal itu adalah lebih baik karena mengangungkan ilmu dan ahli ilmu.

Masihkan kita akan terus menuhankan media? jika ia semakin lamalah kita terus dibuatnya rapuh. Mari belajar lagi menyelami diri.

the woks Institute l rumah peradaban 30/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan