Langsung ke konten utama

Literasi Masjid: Stop Dakwah Menyindir




Woks

Pada sebuah acara dalam peringatan Haul KH. Fuad Hasyim Buntet Pesantren 2019, Gus Mus mengatakan bahwa saat ini ada kyai mubaligh dan mubaligh kyai artinya banyak fenomena orang yang dianggap ustadz cuma karena ia telah mengeluarkan beberapa potong ayat dan hadits. Mereka diustadzkan karena popularitasnya sedangkan yang kyai mubaligh mereka memang punya otoritas karena proses dan kemampuannya tidak diragukan lagi bahkan sangat piawai berpidato. Inilah bedanya istilah keduanya yang telah disebutkan itu.

Satu hal lagi bahwa saat ini orang tidak tau bedanya mengajak dengan amar maruf nahi mungkar, padahal amar itu perintah dan nahi itu melarang. Hal itu pula berkorelasi dengan ketidaktahuan bagaimana cara berdakwah. Dalam kamus Al Munawwir dakwah merupakan serapan dari bahasa Arab, yakni dari kata da’aa (fi’il madhi), yad’uu (fi’il mudhari’) yang berarti mengajak, memanggil, dan mengundang. Sehingga dalam pengertian khusus dapat berarti mengajak ke jalan Tuhan (ud’u ila sabi-li rabbika). Dari pengertian itulah dapat dipahami bahwa dakwah itu sederhana hanya sebatas mengajak, jika yang diajak tidak berkenan maka serahkan semua soal hidayah dari Allah.

Dewasa ini masih banyak pendakwah kita yang belum memahami dakwah secara mendalam. Salah satunya soal dakwah dengan kasar, menyindir dan memaksa yang tentu sangat jauh dari kesan dengan kelembutan. Dakwah menyindir misalnya masih sering dijumpai baik dalam bentuk perkataan maupun dengan media syair. Cara sindiran itulah bisa sangat mengkhawatirkan karena tidak setiap orang memiliki kualitas humor yang baik. Apalagi salah paham mengartikan bisa fatal akibatnya. Maka dari itu sangat penting memahami metodologi dakwah dan medan dakwahnya.

Dakwah dengan sindiran akan berdampak pada psikologis seseorang karena faktor afektif itu lebih kuat merespon. Terlalu keseringan menyindir bukan malah membuat orang luluh justru malah mereka akan kabur menjauh. Orang merasa tidak nyaman justru seharusnya mereka menyerahkan diri secara sukarela tapi justru malah sebaliknya. Seharusnya porsi sindiran hanya sekadarnya saja dan itu pun harus melihat keadaan audienya apakah mereka sedang fokus atau mengantuk. Jika sedang mengantuk maka sindirian akan berubah menjadi humor segar yang menjadikannya tertawaan.

Pada saat ini kita dan khususnya yang ingin menjadi pendakwah mulailah dengan cara penyampaian yang santun. Jika pun diperlukan sindiran maka perlakukan dengan kadarnya. Jangan sampai sindirian menjelma penyakit yang menakutkan yang membuat jamaahnya kabur dan sungkan untuk kembali lagi. Bukankah mendakwahi itu adalah seni untuk merangkul dan merayu seseorang agar ikut dalam pengajian yang disampaikan bukan malah hal yang ditolak dan diresahkan. Semoga saja pendakwah kita semakin dewasa dalam bersikap dan bertindak.

the woks institute l rumah peradaban 26/4/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan