Langsung ke konten utama

Literasi Masjid: Meniti Jalan Dakwah Masjid




Woks

Sejak dulu masjid di bangun oleh Nabi tidak hanya sekedar tempat ibadah melainkan sebagai pusat kajian dan dakwah. Masjid sebagai simbol ketakwaan tentu sudah ada sejak zaman para Nabi dan masjid Quba merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Nabi ketika hijrah ke Yastrib (sekarang Madinah) sekitar tahun 622 M. Setelah Islam berkembang barulah masjid seperti masjid Nabawi (632 M) berdiri.

Masjid tentu punya kaitan historis yang panjang. Masjid yang dalam sejarah telah menjadi tempat sekaligus medan dakwah efektif dalam membina umat kini bertransformasi sangat pesat. Kini masjid bertransformasi menjadi dua kutub besar secara arsitektural yaitu corak tradisional dan modern. Secara fungsi praksisnya tentu masjid menjadi medan dakwah, sosial, kaderisasi, pusat peradaban hingga ekonomi politik.

Masjid menjadi tempat pertama yang dibangun karena dari tempat itu selain untuk ibadah, masjid juga menjadi titik pusat di mana umat harus tahu tentang banyak hal utamanya perihal agama. Saking sentralnya fungsi masjid sampai-sampai ada petatah petitih atau ajaran bahasa kias (pasemon) dari Sunan Gunung Djati yang terkenal yaitu "isun titip tajug lan fakir miskin". Pesan Sunan Gunung Djati atau Syeikh Syarif Hidayatullah itu pertanda bahwa masjid adalah tempat yang harus dipertahankan sepanjang zaman. KH. Ahmad Asrori Al Ishaqy (Mursyid dan Pendiri PP Assalafi al Fitrah) sebelum wafatnya pernah juga berpesan alangkah indahnya jika hidup di dekat masjid bahkan beliau sendiri memilih ingin di makamkan di areal masjid.

Hal itu pula yang menjadi tanda bahwa jika ingin melihat bagaimana Islam lihatlah orang muslim dan masjid. Kita tentu paham tolok ukur itu sesuai yang didawuhkan nabi seribu tahun lalu bahwa nanti di akhir zaman jumlah umatnya bagai buih di lautan. Umat Islam akan menyebar di mana-mana tapi sayangnya mereka mudah disapu oleh ombak lautan. Umat Islam secara kuantitas memang besar tapi mereka tidak bisa disatukan bahkan lebih mudah dipecah belah. Soal masjid pun sangat banyak macamnya bukan soal arsitektur tapi soal kepemimpinan yang terpengaruh lewat ormas. Masjid tidak bisa disatukan seperti zaman nabi dulu ini tanda bahwa perkembangan baik pemikiran maupun peradaban berkembang pesat.

Tapi bagaimanapun juga kita masih punya harapan besar lewat dakwah masjid umat bisa tercerahkan. Umat masih butuh ilmu untuk dapat menambah pemahaman keagamaan yang lebih komprehensif. Masjid harus menjadi tolok ukur akan keberagaman yang inklusif, menjadi payung teduh bagi aktivitas sosial yang majemuk ini. Maka dari itu pentingnya kita untuk terus merawat masjid sebagai warisan sejarah tempat di mana umat Islam mengembangkan nilai-nilai keagamaan yang moderat.

the woks institute l rumah peradaban 24/4/21


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan