Langsung ke konten utama

Aku dan Sepotong Buletin




Woks

Aku memang tidak bisa dipisahkan dengan dunia bacaan entah dalam bentuk apapun termasuk buletin. Padahal aku bukan tipe orang yang rakus dengan membaca akan tetapi jika berkaitan dengan bacaan hasratku begitu tinggi. Tidak peduli seberapa recehnya tulisan dalam karya tersebut yang jelas aku pasti melahapnya juga. Bagiku dunia membaca dan karyanya harus dihargai sehingga bagaimana pun juga buletin dan membaca adalah lebih baik daripada berakhir di tempat sampah atau menjadi bungkus gorengan.

Aku sering berpikir sejak kapan menyukai buletin untuk dikonsumsi sebagai bacaan. Sekian lama aku renungi ternyata faktornya adalah bapak. Ya, bapak ternyata sudah sejak lama memprovokasi ku untuk membaca. Bahkan hingga saat ini aku masih ingat kata-katanya "jangan lupa di manapun tempatnya kamu harus rajin membaca, bacalah apapun, pungutlah segala bacaan yang kau temui termasuk sobekan koran, majalah dan buletin". Kata-kata ternyata masih menjadi energi hingga hari ini.

Saat aku duduk di bangku kuliah ternyata aku menjadi predator buletin atau apapun itu yang berkaitan dengan sumber bacaan. Disaat para mahasiswa acuh ketika ada majalah kampus yang gratis misalnya, aku justru sangat antusias mendapatkan karya tersebut. Maklum bagiku menulis di majalah tersebut pastilah tidak mudah dan kita memang harus menjadi apresiatornya. Tidak hanya itu ketika aku tidak masuk kelas karena telat atau dilarang oleh dosen justru perpustakaan adalah tempat pelarianku. Walaupun perpus kampus pada saat itu masih sempit dan panas tapi aku menikmati berada di sana. Membaca itulah salah satu hukuman karena ketidakmampuan ku untuk masuk tepat waktu.

Kini aku menjelma menjadi semacam filateli bagi lembaran-lembaran buletin. Bahkan aku tidak hanya mencatat nama buletin yang berkembang di kampus tapi juga aku rajin mengoleksinya. Ironi di saat mahasiswa lain tak memperdulikan justru akulah yang merawat semua buletin itu. Beberapa nama buletin yang masih ku simpan di antaranya: Al Irfan DEMA FUAD, News Camp LPM Dimensi, el Qish DEMA FASIH, Aufklarung PKFT IAIN TA, Tasawuf Psikoterapi - Al Fana HMJ TP, Al Bayan - Al Ishraqy HMJ IAT, Buletin Manajemen Dakwah bahkan buletin Al Islam dan Kaffah milik HTI pun tak luput aku koleksi.

Soal buletin Al Islam HTI mengapa aku memilikinya? ceritanya dulu ketika awal masuk ke IAIN Tulungagung sekitar tahun 2015 aku yang polos itu suka membantu seorang teman yang ternyata aktivis HTI. Tanpa punya rasa curiga aku enjoy saja membantu mendistribusikan buletin tersebut. Yang ku pikirkan saat itu hanya buletin tersebut pasti terdapat kata "jangan dibaca saat khutbah berlangsung, tolong disimpan di tempat yang baik karena ada ayat suci Alquran". Tapi yang membuatku janggal adalah si temanku itu malah membagikanya dengan cara disebar di sepanjang jalan depan halaman masjid? Cerita ini panjang, intinya aku menyimpan buletin tersebut sebagai artefak peradaban bahwa dulu aku pernah punya cerita demikian lalu selanjutnya tak lain karena aku pecinta buletin tanpa membedakan dari mana rahim yang melahirkannya.

Tidak lupa buletin berbasis online seperti Sastragama LPM Aksara FUAD, Hakasi ForMaSi, JMP Progresif, Verstehen HMJ AFI, AlKohol, Buletin BAYU IMAKA, Buletin Ngaceng dan Saujana Radio Genius fm juga aku masih mengoleksinya di folder pdf khusus buletin. Tentu di antara deretan nama buletin tersebut mengalami pasang surut ada yang masih eksis dan ada yang mati suri bahkan mati entah kapan bangkit lagi. Faktornya lagi-lagi karena SDM penulis yang langka dan ketidakmampuan untuk terus belajar serta menganggap bahwa buletin itu penting.

Buletin sebagai produk literasi masjid juga tak bisa dianggap remeh. Bahkan aku punya kegiatan nyeleneh yaitu dulu ketika jum'atan selalu memilih ke Masjid Agung Al Munawwar Tulungagung karena di sana aku akan mendapat buletin gratis bernama Al Mihrab. Buletin berwarna khas hijau itu berisi kisah dan tanya jawab seputar fikih. Tulisanya renyah, mengalir dan tentunya informatif tanpa provokatif. Jika aku tidak jum'atan di Masjid Agung maka jika ada teman yang membawa buletin pasti aku memintanya dan temanku pasti memberikanya, katanya memberikan buletin kepada si pembaca lebih bermanfaat daripada dibuang ke jalanan.

Tidak hanya itu aku juga punya kebiasaan untuk mencari buletin gratisan ke setiap tempat yang aku singgahi. Misalnya ketika ziarah wali ke berbagai daerah disaat teman-teman sibuk berbelanja oleh-oleh aku justru disibukan di antara etalase masjid. Aku harap di sana menemukan buletin sisa yang belum terdistribusikan atau bahkan tidak terpakai maka tahap selanjutnya aku ambil dan bawa pulang. Beberapa buletin yang aku simpan di antaranya, Buletin Bun.Dar, Buletin Asy-Syifa Masjid RSUD dr Hardjono Ponorogo, al Fath, Ar Rahmah Surabaya, hingga Buletin at Tauhid Sleman Yogyakarta. 

Tentu aku juga tidak melupakan Buletin FOKUS MANHIK sebagai buletin pertama yang aku ketahui semasa SMA dulu. Buletin FOKUS MANHIK menjadi berarti sekaligus bersejarah bagiku, entah bagi yang lain. Buletin beberapa lembar berwarna putih itu merupakan upaya kuat agar literasi membumi di sekolah tapi sayang cerita harus berakhir pahit: buletin ini tinggal kenangan.

Hingga akhir dalam tulisan ini aku hanya ingin berterimakasih kepada bapak karena telah menginspirasi sekaligus mengajari untuk selalu menghargai sesuatu yang dianggap kecil. Dalam pendidikan beliau aku jadi paham akan arti sesuatu yang menjadikanya berarti bahkan terasa hidup. Maka tidak rugi ketika dulu aku sering mengobrak-abrik lemari bapak yang ternyata kolektor buletin, bahkan buletin milik bapak disatukan dibendel hampir seperti kitab suci. Selanjutnya aku juga berterimakasih kepada teman yang sering memberi buletin atau buku bacaan gratis kepada ku semoga saja bisa menjadi amal jariyahnya. Terakhir aku hanya ingin mengatakan bahwa diri kita juga merupakan sebuah buletin yang tak akan terjeda oleh halaman dan tak akan habis dibaca.

the woks institute l rumah peradaban 4/4/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan