Langsung ke konten utama

Menunggu Hujan


Foto: PG. Modjopanggung Kauman nampak diguyur hujan.

Woks

Abu Nawas pernah ditanya oleh penduduk kampung mengapa saat ada hujan ia langsung berlarian. Bukankah hujan adalah rahmat kata mereka. Lantas Abu Nawas dengan cerdik berkata " masa ada rahmat yang diinjak-injak, aku berlari bukan karena takut hujan tapi lebih karena takut menginjak rahmatnya sedangkan kalian tidak sopan menginjak-injaknya". Semua orang lalu tertawa terpingkal-pingkal sekaligus tersindir "dasar Abu Nawas ini memang tak ada habisnya dalam berkelakar".

Sekilas penggalan cerita itu bisa kita tangkap dikala hujan turun. Fenomena hujan memang sangat menarik ditulis lebih-lebih ketika pelangi muncul dengan gagahnya. Para penyair selalu menyanjung hujan sebagai waktu melahirkan puisi daripada kemarau. Hujan memang begitu istimewa sampai Nizar Kabbani menuliskan kalamnya bahwa tidak ada yang patut disesali saat hujan kecuali lahirlah puisi.

Hujan memang selalu dielu-elukan terutama oleh petani ketika akan masuk musim tanam. Bahkan ketiadaanya hujan melahirkan satu tradisi dari berbagai suku bangsa, orang Sunda menyebutnya babaritan yaitu tradisi ungkapan rasa syukur atas berkah hujan. Orang zaman primitif bahkan lebih ekstrim lagi jika hujan turun mereka rela memberikan persembahan berupa anak gadis lengkap dengan sesajinya. Maka dalam sejarah praktek seperti itu ditentang oleh para Nabi dan walinya, jika di Indonesia kita mengenal kisah Sunan Maulana Malik Ibrahim dengan masyarakat Gresik.

Hujan memang begitu istimewa bahkan sesaat ketika saya menunggu hujan jadilah sebuah guratan kecil seperti di bawah ini:

Saya belajar kepada hujan tentang air mata yang tak sanggup ditumpahkan. Tentang sabar yang tak menemukan batas. Tentang pengorbanan yang tak ingin berbalas. Serta tentang apa saja yang dilewati dan merupakan guru kehidupan.

Saya juga belajar dari orang-orang yang berjuang membebaskan kebodohan. Mereka membuka tabir kejumudan serta kesokpintaran. Perjuangan mereka benar-benar dikuatkan lewat alam tentang hujan yang menjelma tangis, awan yang menari atau kadang mentari yang tersenyum. Semua hal memang perlu diperjuangkan dengan ikhlas dan semangat.

Saya juga belajar kepada orang-orang yang berkeluh kesah. Tentang ketidaktahuan dan tentang masa depan. Mereka kadang menangis di depan ketidakberdayaan. Serta mengadu pada kejujuran atas nama apalagi mereka menipu diri sendiri. Atau dengan apalagi jiwa dipertaruhkan.

Terakhir saya belajar pada diri sendiri. Pelajaran yang kata Mbah Tedjo paling esensial yaitu berziarah ke diri sendiri. Diri yang selalu terpengaruh oleh nafsu sesaat atau ditekan di atas kuasa otoritas. Diri ini padahal unik dan punya segudang harapan buat melangkah. Tapi apalah daya bunga semerbak pada akhirnya layu karena komplotan kumbang.

Hujan memang banyak melahirkan inspirasi bahkan ketika terjadi banjir pun masih banyak hal positif lain yang dapat kita petik. Akan tetapi kita masih jauh panggang dari api bahwa memandang hujan hanya dari segi bencana saja. Padahal banjir tidak mesti karena hujan tapi lebih karena ulah manusia dalam memperlakukan alam. Sejak dulu hingga kini kita ambil contoh Desa Wisata dan Budaya Kasepuhan Ciptagelar di Baduy Banten sungguh mencirikan masyarakat yang berdampingan dengan alam. Sehingga di sana harmoni memunculkan kebaikan salah satunya hujan tak menjelma banjir, pegunungan tak bereaksi longsor dan lainya. Semoga kita semakin sadar tentang kondisi lingkungan di sekitarnya.

the woks institute l rumah peradaban 2/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan