Woks
Jangan paksa saya menjadi apapun selain untuk jadi penulis. - Kang Maman
Pesan Kang Maman atau yang kita kenal belakangan sebagai No Tulen itu sangat terasa hidup. Betapa tidak jika kita mau jujur bahwa peradaban manusia berawal dari perintah iqra dan selanjutnya nampak dinamis karena adanya tulisan. Selain pelaut nenek moyang kita adalah penulis. Mereka telah mewariskan tulisan yang berisikan sejarah masa silam, pengetahuan, peradaban kuno dan simbol-simbol, melalui tulisan yang tertera di batu, kulit kayu, daun lontar, kulit binatang, tulang hewan hingga ditemukanya kertas. Tanpa tulisan yang memuat masa lalu itu mungkin hingga hari ini dunia kita nampak membisu. Sungguh bahwa masa silam adalah rahim yang melahirkan masa sekarang.
Darisanalah sejatinya kita punya sanad yang jelas bahwa kegiatan menulis memang bersejarah. Kesejarahan itu ditunjang dengan semakin banyaknya akademisi dan ulama yang berkontribusi lewat dunia tulisan. Di kalangan Islam sendiri tentu sangat kaya dan dianggap sebagai zaman pencerahan padahal dulu Barat masih gelap gulita (dark age). Hingga akhirnya dunia mengalami keterbalikan dan Barat mencapai masa keemasannya (Rainasans).
Menjauh dari itu kita tidak bisa membayangkan jika dulu tulisan tidak ditemukan. Mungkin saja kita tak akan bisa belajar mengenai masa lalu. Tentu kita sangatlah berterima kasih kepada sahabat Zaid bin Tsabit sang juru tulis Nabi itu. Jika dulu firman Tuhan yang suci itu tidak tulis mungkin Islam tidak berkembang pesat seperti saat ini. Termasuk kodifikasi hadits yang dilakukan di awal abad-2 oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz hingga akhirnya sampai pada penyusun kitab hadits terkenal Kutubus Sittah.
Begitulah kiranya pentingnya sebuah tulisan dan aktivitas menulis. Tentu di era modern ini menulis bisa menjadi jalan di mana kita dapat mengaktualisasikan diri. Selain mewarnai pengetahuan melalui tulisanlah kita turut berkontribusi untuk melahirkan peradaban baru. Jangan sampai warisan peradaban yang kaya itu terkikis habis cuma karena kita sebagai pewaris tidak ikut serta merawatnya. Edward Said dalam Orentalism (1995) berpendapat bahwa selama Timur terus dikaji oleh Barat maka sampai kapanpun Barat akan berada di atas angin. Itu artinya Timur tidak menjadi pemain utama lagi melainkan hanya sekadar objek. Padahal dulu peradaban Timur mengalami masa jayanya hingga 7 abad lamanya sebelum akhirnya runtuh di tangan kekaisaran Mongol.
Mari kita lihat sejarah saat ini mengapa Islam tercerabut dari akar peradabannya tak lain karena terkikisnya budaya iqra yang kita tahu merupakan wahyu Allah surah pertama al Alaq. Iqra di sini tentu tidak hanya sekedar membaca secara leterlek melain membaca banyak hal dan bermakna sangat luas salah satunya mencatat pengetahuan. Lantas maukah kita mewakafkan diri sebagai seorang juru tulis dunia? jika iya lantas bagaimana caranya.
Menulis Menunjukkan Kebenaran
Bagaimana cara kita menulis tentu ini pertanyaan esensial yang perlu dijawab bahwa untuk memulainya kita harus ngerti, ngerasa, ngelakoni, begitu kata Kang Maman. Ngerti dimaknai sebagai pengetahuan pertama seseorang mengetahui permasalahan dan sekaligus memberikan solusinya. Tanpa kepekaan akan sebuah masalah seseorang pada akhirnya hanya akan berdiam atau bersikap oportunis. Justru lewat menulislah dunia bisa dijabarkan secara lebih objektif. Selanjutnya ngerasa, ialah sebuah fase kedua dalam rangka mengasah pengetahuan pertama agar manusia peka terhadap apa yang dihadapinya. Tanpa perasaan manusia hanya akan jadi mahluk yang kaku membatu.
Setelah mengerti lalu merasa terakhir adalah ngelakoni alias melakukan. Tanpa aksi nyata menulis tak akan terjadi jika cuma hanya angan-angan semata. Menulis perlu aktualisasi dari dalam diri sedangkan motivasi dari orang lain hanya bagian input terkecil yang kita tangkap. Selebihnya adalah diri sendiri yang dapat menakarnya. Dalam tradisi tasawuf fase dari ngerti, ngerasa dan ngelakoni ibarat fase ainul yaqin, ilmul yaqin, haqqul yaqin. Fase itulah yang menjadi akhir di mana kita akan menemukan yang haq. Pengetahuan itu tentu diperoleh dengan diusakan tanpa usaha gigih seseorang tidak akan sampai. Para pejalan sangat tau jika ingin menemukanNya teruslah berjalan dan tak pernah berhenti. Begitu pula di tengah samudera kita perlu melewati banyaknya gelombang sebelum akhirnya bersandar, berlabuh pada dermaga.
Mengapa menulis dapat menemukan kebenaran? karena dalam proses menulis seluruh panca indera kita terlibat. Di sana pula terdapat proses akademik yang mendalam, proses konfirmasi, verifikasi hingga kesiapan menghadapi medan kesunyian. Kita tahu untuk menjadi penulis berarti harus siap meluangkan waktunya untuk fokus beberapa jam dengan tulisan, tanpa menejemen waktu yang baik tulisan tak akan dihasilkan. Seorang penulis akan memiliki transendensi tersendiri dalam proses menulisnya. Misalnya Imam Ghazali, Ibnu Arabi', Imam Malik, Imam Syafi'i dan banyak ulama lain termasuk Syaikh Yasin bin Isa al Fadani yang jika menemukan kebuntuan terkait hadits langsung mengkonfirmasi kepada Rasulullah saw lewat mimpi. Kita tahu bahwa mimpi merupakan 64% dari alamatin nubuwwah maka bisa sangat terjaga otoritas kebenarannya.
Dengan menulis maka kita akan terus merasa dahaga dari pengetahuan. Jika sudah demikian maka menulis adalah sarana belajar sepanjang hayat dengan berpedoman pada membaca. Maka dari itu melalui tulisan ini mari kita belajar menulis. Jangan biarkan guru kehidupan hilang ditelan zaman dan jangan biarkan sanad kebaikan itu terputus di tengah jalan. Menulislah dari masa lalu, masa kini dan untuk masa depan.
the woks institute l rumah peradaban 22/4/21
Komentar
Posting Komentar