Langsung ke konten utama

Literasi Sebagai Jalan Takdir Kehidupan





Woks

Menjadi aktivis literasi bukan sebuah pilihan hidup melainkan sebuah kemauan. Apakah seseorang telah sadar bahwa kemampuan literasi sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Nyatanya tidak semua orang mau segera sadar bahwa literasi sangatlah penting dalam mengawal perkembangan zaman. Apalagi dalam arus digitalisasi yang masif melek literasi sangatlah penting sebagai senjata menaklukkan perubahan.

Saya sering menjelaskan bahwa literasi tidak hanya disempitkan tentang kemampuan baca tulis melainkan lebih dari itu. Akan tetapi kemampuan baca tulis menjadi bekal literasi dasar untuk seseorang mempelajarinya. Setelah itu barulah beranjak ke literasi utamanya yang menunjang perubahan zaman. Kita tahu melek literasi di zaman serba modern adalah keharusan terutama literasi digital yang melibatkan perangkat teknologi canggih.

Kecakapan atau kemampuan literasi bangsa Indonesia tergolong rendah dalam survei terakhir saja bangsa Indonesia masih dilevel ke-60 dari 61 negara di dunia (The World's Most Literate Nations). Tentu survei tersebut tidak menjadi ukuran utama kemajuan suatu bangsa akan tetapi kita bisa berkaca di sana bahwa keadaan masyarakat ternyata memang demikian. SDM kita masih belum maju secara pemikiran. Maka dari itu dengan bergelut dalam dunia literasi berarti ada upaya untuk ambil bagian membangun Indonesia.

Literasi sebagai jalan takdir, apakah semua orang menyusuri takdirnya? hal ini memang misteri akan tetapi jika dilihat berliterasi justru seperti tongkat pemandu masa depan. Coba kita lihat di balik orang sukses pasti mereka memiliki karakter tangguh dan spesial. Zaman yang silih berganti justru sudah ditaklukkan bahwa tidak sukar merapal perubahan dengan serangkaian inovasi.

Orang-orang yang bergerak dalam dunia literasi justru nampak berkarakter. Mereka bergerak tak lain karena tugas pencerahan kepada masyarakat. Mereka meyakini bahwa permasalahan ekonomi sekalipun bisa diselesaikan karena justru literasi membawa efek bahagia bagi si pembawanya. Orang yang tidak punya kerjaan misalnya akan selalu berpikir bagaimana mendapatkan uang. Sedangkan diberbagai cerita banyak tokoh kita yang bergelut dalam jalur tulis menulis, misalnya Gus Dur yang sering mengirim tulisanya di surat kabar.

N. Mursidi sebelum menjadi jurnalis Tempo ia adalah orang kecil loper koran sewaktu di Jogja. Melalui dunia tulislah ia dihantar mencapai kesuksesannya. Tentu banyak lagi kisah serupa yang dialami para tokoh yang membawa takdirnya lewat kegiatan tulis menulis. Era kekinian kita tahu Gola Gong orang disabilitas tersebut justru menjadi penulis sukses, pengasuh TBM Rumah Dunia dan kini Duta Baca Nasional periode 2021-2025. Jika demikian kita tahu bahwa kegiatan literasi sangat lah menjanjikan di masa depan. Selain kita mendapat banyak pengetahuan, pengalaman, pertemanan kita juga bisa mendapat keuntungan berupa profit. Sekarang sudah saatnya menjemput takdir lewat jalur literasi.

the woks institute l rumah peradaban

Disampaikan dalam acara Pelatihan Esai ForMaSi/KIP UIN SATU Tulungagung, 5/9/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...