Langsung ke konten utama

Dimensi Rasional dan Irasional dalam Kitab Ta'lim Muta'allim




Woks

Membaca artikel Syadad Ibnu Hambari Dosen STIT Raden Santri Gresik tentang aspek irasionalitas dalam Kitab Ta'lim Muta'allim saya justru tertarik juga untuk melengkapi keduanya. Dalam artikel Syadad menyebutkan bahwa aspek irasionalitas dalam Ta'lim akan menentukan intelektualitas. Pasalnya banyak hal-hal di luar rasio manusia yang ditemukan dalam kitab Ta'lim tersebut.

Kitab Ta'lim Muta'allim merupakan buah karya ulama madzhab Hanafiyah yaitu Syeikh Burhanuddin Az Zarnuji. Beliau mengarang kitab tersebut ketika dunia mengalami dekadensi moral bahkan hingga saat ini. Menurut mualif para pelajar mengalami pergeseran di mana biasanya mereka mendatangi para guru (sumur) kini malah sebaliknya, sumur malah mendatangi murid (kendi). Akhirnya kekhawatiran Syeikh Zarnuji akan tercerabutnya ilmu dan pelajar maka beliau mengarang kitab etika belajar tersebut.

Hingga hari ini Kitab Ta'lim Muta'allim memang selalu menjadi idola di pondok pesantren. Kitab akhlak dan etika menimba ilmu itu merupakan pedagogi bagi pelajar, khususnya di pondok pesantren. Kitab ini terus dikaji walaupun sudah khatam beberapa kali. Karena praktis dan dampaknya yang luar biasa kitab ini selalu menjadi pegangan wajib, khususnya bagi pelajar di tingkat dasar.

Hal-hal menarik dalam Kitab Ta'lim Muta'allim ini setidaknya terbagi dua yaitu tinjauan aspek rasional dan irasional. Dalam tulisan Syadad beberapa aspek irasionalitas dalam Ta'lim Muta'allim di antaranya adalah: jika seorang pelajar ingin berhasil dalam menimba ilmu maka harus berkhidmah kepada guru sebagai ahli ilmu. Tidak hanya itu pelajar juga harus menghormati apa yang dimiliki oleh guru termasuk menghormati putra guru. Bahkan dalam kitab tersebut terdapat pasal khusus berkaitan dengan memuliakan guru, ilmu, teman dan ahlinya ilmu.

Dari sanalah apakah kita tidak bertanya, apa hubungannya antara keberhasilan menuntut ilmu dengan penghormatan pada guru? tentu di sinilah aspek irasionalitasnya di mana kita diajak untuk berpikir sejenak bahwa ilmu tidak di otak melainkan berjalan melewati tranmisi akhlak. Dalam Kitab Misykatul Anwar Imam Ghazali berpendapat bahwa ilmu itu bagai cahaya dan akan mendekati wadah yang juga bersih dari segala noda. Imam Ghazali juga menyarankan dalam Bidayatul Hidayahnya agar pelajar terus mencari hidayah. Hal itu tak lain agar hati seluas samudra dan mendapat futuh dari Allah tentang merasuknya ilmu.

Sementara Kitab Ta'lim Muta'allim ini tidak juga meninggalkan sisi rasionalitasnya di mana pelajar juga disarankan agar bersungguh-sungguh dalam belajarnya, berniat yang baik, memiliki cita-cita, sabar, semangat, memiliki modal, perlu petunjuk guru, sering mengulang pelajaran, menghafalkan pelajaran, mencatat hingga menulis dengan tulisan yang baik dan jelas. Aspek rasionalitas tersebut tentu masih bisa diurai secara mudah termasuk misalnya jangan banyak memakan buah delima, ketumbar basah dan apel asam karena bisa menyebabkan lupa.

Sebenarnya jika menyelami lebih dalam Kitab Ta'lim ini justru lebih banyak aspek irasionalitasnya daripada yang rasional. Misalnya pelajar tidak diperkenankan menulis dengan tinta merah, jangan menyapu di malam hari, jangan menaruh sesuatu di atas kitab yang benda tersebut lebih rendah derajatnya, menyedikitkan makan, jangan makan barang syubhat, jangan terlalu banyak tidur, jangan bicara yang tak berguna, serta banyak lagi lainya. Hal-hal yang dianggap irasional itu sejatinya akan berhubungan dengan rezeki dan menghasilkan ilmu.

Intinya kitab ini ingin mengajak kepada para pelajar agar senantiasa memperhatikan aspek keduanya. Walaupun demikian kita tidak boleh mengenyampingkan salah satu dari aspek itu. Jika hanya rasional maka ilmu hanya mampir di otak sedangkan jika hanya sisi irasional maka pelajar akan malas. Barangkali kita bertanya lantas apakah sisi irasional hingga saat ini terus diyakini bagi para pencari ilmu, tentu tak lain adalah barokah.[]

the woks institute l rumah peradaban 15/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...