Langsung ke konten utama

Pasemon untuk Upaya Preventif di Masyarakat




Woks

Di Jawa kita mengenal istilah pasemon, kinayah atau qiyas metafora. Salah satu pasemon menarik sering diinterpretasikan dengan berbagai simbol. Simbol-simbol tersebut meresap ke berbagai aspek tidak hanya soal material tapi melalui ragam bahasa lisan. Maklum saja manusia Jawa adalah human symbolic dalam bahasa Selo Sumardjan.

Salah satu pasemon menarik yang bernilai preventif yaitu pamali. Pamali adalah ungkapan yang memiliki arti larangan secara halus. Orang Jawa atau di suku lain barangkali memiliki budayanya sendiri terkait pamali. Jawa dengan hierarki bahasanya justru membuat larangan bisa terselubung menjadi halus. Jika orang Jawa sudah berkata, "pamali" maka mayoritas masyarakat akan mamatuhinya. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Salah satu pamali yang sering kita dengar misalnya jangan duduk di depan pintu nanti sulit jodohnya. Jangan makan brutu ayam bagi anak muda, jangan makan ceker ayam bagi anak-anak, jangan mantu di bulan suro, jangan pakai baju hijau ketika ke pantai selatan, memotong sesuatu ketika istri sedang hamil, jangan kencing di sembarang tempat, jangan menyapu halaman di malam hari, jangan keluar di waktu magrib, kalau makan harus habis nanti nasinya nangis, dan banyak lagi lainnya. Berbagai macam pamali tersebut tentu akan dipercaya atau diabaikan. Hal itu sesuai dengan keyakinan setiap individu atau justru luntur secara alamiah oleh perubahan zaman.

Dari banyaknya pasemon yang terdapat dalam pamali tersebut tentu sampai hari ini terus menyisakan dogma. Karena di sana selalu tidak akan ditemui rasionalitasnya. Hal itu merupakan corak utama dari pamali yang tidak bisa ditawar. Pamali memang hanya menyuguhkan kata "tidak" dan tidak selalu membawa penjelasan. Dengan demikian kadang sebagai orang awam kita hanya mengikuti saja hal itu sebagai warisan orang tua dulu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu hal itu banyak pula dikritisi lebih lagi oleh anak muda zaman sekarang.

Sebenarnya fungsi praktis dari pamali tersebut adalah upaya preventif yaitu dalam rangka ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Ada contoh pasemon yang lain untuk tidak disebut pamali secara lisan misalnya ketika pohon dibungkus dengan mori atau mengapa ada bunga di tengah perempatan, termasuk ada sesajen di setiap pojokan ketika orang memiliki gawe hajatan. Untuk berkaitan dengan sesajen ini bisa dibaca melalui link berikut : http://wokolicious.blogspot.com/2022/02/gegeran-di-tanah-damai-sajen-wayang.html

Sebenarnya pohon yang diselubungi kain mori di badannya adalah agar pohon tersebut nampak wingit. Karena mayoritas orang merasa bahwa di sebuah pohon itu terdapat penghuni berupa mahluk ghaib. Dengan kepercayaan seperti itu akhirnya orang merasa takut untuk menebang pohon. Jika sudah tertanam kepercayaan demikian maka akan banyak pohon yang terselamatkan. Lagi, jika ada bunga di perempatan jangan segera dianggap syirik. Kita perlu melihat rasionalisasi yang lainnya.

Bunga yang terdapat di perempatan bisa jadi itu akan dianggap klenik akan tetapi efeknya bisa menjadi pepeling bahwa di setiap tempat ada penghuninya. Jika sudah begitu orang-orang akan berhati-hati dalam berkendara. Jika bukan karena ada hal ghaib orang-orang justru abai. Demikianlah kiranya hal-hal yang berbau pamali akan berdampak di masyarakat. Walaupun nampak sederhana padahal isinya berupa pasemon yang tidak bisa dianggap remeh. Dengan begitu orang-orang akan selalu memperhatikan setiap hal yang ada di sekitar kita.

the woks institute l rumah peradaban 14/4/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...