Di Indonesia perhelatan sepakbola sungguh luar biasa. Dibanding dengan negara lain sepakbola Indonesia memang punya kans besar apalagi jika bicara supporter. Sejak bergulirnya Perserikatan pada 1931 sepakbola kita terus merangkak, Galatama di tahun 70an, Liga Indonesia, Liga Primer, Indonesia Super League hingga Liga 1. Semua memiliki dinamikanya termasuk bagaimana Panpel dan Komdis serta PSSI berbenah.
Atmosfir sepakbola Indonesia memang luar biasa. Tak jarang banyak pemain luar negeri bahkan sekelas Essien (Chelsea) pernah merumput di liga Indonesia. Rerata orang luar negeri merasa betah dengan liga Indonesia karena alasan supporternya. Di Indonesia para pendukung bola sudah di level gila alias fanatismenya tinggi. Sehingga dalam urusan dukungan jangan ditanya. Hal positif dari para supporter tentu soal kreativitas, koreografi, hingga aksi sosial.
Sepakbola Indonesia memang pangsa pasar besar tidak hanya di dalam negeri bahkan melampaui Asia, lagi-lagi faktornya karena supporter. Persib Bandung misalnya paguyuban supporter mereka bahkan sudah melampaui mancanegara. Jadi peran supporter di Indonesia memang tidak bisa di kesampingkan. Bahkan beberapa kali panitia pelaksana merasa rugi karena tidak mendapat pemasukan dari penjualan tiket akibat tidak adanya supporter. Demikianlah kiranya sepakbola dan penggemar adalah keuntungan. Berapa banyak para pedagang kecil mendapat berkah dari penjualan merchandise, dan lainya. Maka tak ayal jika kasus bermunculan mulai dari mafia, pengaturan skor, korupsi di tubuh PSSI hingga konflik internal di tubuh Panpel.
Di Indonesia khususnya bagi mereka yang ingin menjadi warga negara sangat mudah, menjadi WNA hanya dengan mendaftarkan sebagai pemain naturalisasi. Sedangkan di luar itu WNI yang ingin menjadi WNA karena kecintaan pada negeri ini susahnya setengah mati. Begitulah pintu sepakbola lebih terbuka lebar bagi siapa saja dengan cukup mengatakan "mbah saya asli Jawa misalnya". Sepakbola memang bisa menjadi wajah yang dibanggakan sekaligus dipermalukan. Lewat sepakbola siapa saja bisa dibuat bangga bahkan negara selalu hadir buat olahraga satu ini.
Akan tetapi sejak lama PR sepakbola kita belum juga usai. Soal kerusuhan, perusakan, kericuhan supporter, pertikaian pemain dan official belum juga terpecahkan. Sepakbola kita belum juga dewasa. Aroma rivalitas antara supporter pun terus abadi dan belum bisa padam api permusuhannya. Sepakbola Indonesia memang keras bahkan era kekinian sudah berapa pelatih yang angkat kaki dari manajemen cuma karena tak pernah menang. Supporter kita memang masih kanak-kanak dan mereka masih sulit untuk rela menerima kekalahan.
Kericuhan PSS Sleman vs PSIS Semarang, ngamuknya Bonek ketika Persebaya takluk dari RANS di Gelora Delta hingga yang terbaru Tragedi Kanjuruhan antara Arema vs Persebaya menjadi catatan buruk sepakbola kita. Entah bagaimana juga peran aparat pengamanan yang jelas di titik itu kita tak pernah tau selain para supporter sendiri. Berita terhangat ada sekitar 127 Aremania meninggal sia-sia karena sepakbola. Padahal jika dipikir apakah ada nyawa lebih berharga dari sepakbola?
Kita ingat pada 15 April 1989 di mana 96 fans Liverpool harus meninggal karena berdesakan. Kurangnya kapasitas dan abainya aparat membuat nyawa fans tersebut melayang. Peristiwa itu dikenal dengan tragedi Hillsborough yaitu seminimal piala FA yang mempertemukan Liverpool vs Nottingham Forest. Peristiwa tersebut tentang stadion sedangkan di Indonesia soal home base sepakbola juga terus berbenah. Dari sanalah akhirnya kita berpikir tentang sebuah lelucon.
Saat 10 November 1945 Bung Tomo datang pada Mbah Hasyim: Apa hukum membela tanah air?
Saat 2 Oktober 2022 Bung Woko datang pada Mbah Kasim: Apa hukum membela sepakbola hingga kehilangan nyawa?
Ya Allah. Dewasalah supporter kita.
Sebenarnya bukan memperbesar kapasitas stadionya tapi justru memperkecil berahi supporternya untuk terus legowo ketika kalah, nriman ketika tersingkir dan dewasa dalam segala peristiwa. Jika hal itu bisa dipahami kemungkinan besar rivalitas abadi akan padam. Di Indonesia sepakbola masih sebagai ajang adu gengsi, kalah menang, bahkan hidup mati. Sepakbola belum sepenuhnya dipandang sebagai seni yang indah. Jika kita tahu seni itu ketika sabarnya fans Arsenal saat Arsene Wenger menjadi arsitek club mereka, perenungan ala Jurgen Klopp dll. Indahnya permainan tika-taka ala Barcelona atau gaya selebrasi tarian Samba. Atau dalam bahasa Gus Dur sepakbola Catenaccio ala Italia, Hit and run, Kick and rush ala Inggris, dan Total football ala Belanda. Jadi sepakbola menjadi ajang adu keindahan bukan adu mulut apalagi adu jotos.
Musuh wong akeh, memang sulit. Tapi bagaimanapun juga lingkaran setan karena kerusuhan supporter harus segera dihentikan. Saya beberapa kali menulis betapa pentingnya ilmu tasawuf bagi setiap hati orang-orang di sepakbola. Tidak hanya itu pendidikan buat para supporter juga tak kalah pentingnya. Kita mungkin masih fokus pada upaya deradikalisasi untuk ancaman terorisme. Atau upaya moderasi dan toleransi bagi kalangan umat beragama tapi kita lupa ada pendekar Shinobi ala pencak silat yang perlu diberi pemahaman, para genk motor yang perlu dibina dan para penggemar bola yang perlu dididik. Maka dari itu rasanya para ilmuwan kita pun perlu untuk urun rembuk dalam memecahkan masalah ini.
Tak adil jika menyalahkan supporter, para aparat pun harus sadar diri bahwa tindakan mereka juga harus dikontrol. Tidak boleh atas dasar kekuatan mereka mengacuhkan kemanusiaan. Ingat ada peraturan, undang-undang dan regulasi yang perlu dipahami. Dan tak kalah pentingnya ada banyak anak dan perempuan yang juga sama-sama suka bola. Kita berharap fenomena bola salju ini tak terulang lagi. Terlalu receh jika kebodohan atas nama si kulit bundar terulang lagi.
Bang Woks, seorang komentator & kritikus sepakbola tarkam.
Komentar
Posting Komentar