Langsung ke konten utama

Pekan Ta'aruf Santri Ma'had dan Harapannya




Woks

Alhamdulillah kemarin malam tepat ba'da isya saya memenuhi undangan dari pengurus Ma'had Al Jami'ah UIN SATU Tulungagung untuk hadir dalam acara Pekan Ta'aruf Santri baru. Acara yang dihelat di lantai 6 gedung KH. Arif Mustaqiem tersebut berlangsung khidmat. Ada sekitar 450 santri putra putri yang memenuhi ruangan tersebut dengan seragam putih hitam.

Acara ini dihadiri oleh seluruh pengurus ma'had atau biasa disebut musyrifah, pembina murabbi, pengasuh/direktur Mudir Dr. Drs. KH. Imam Saerozi, wakil rektor III Prof. Abad Badruzaman, Syeikh Ahmad dan dewan asatidz lainnya. Dalam sambutannya KH. Imam Saerozi selaku mudir mengatakan bahwa untuk menjadi santri harus menata niat. Karena dengan kemurnian niat seseorang dapat mendapatkan keridhoan. Maka dari itu menjadi santri niatnya harus mencari ridho Allah swt. Selain itu kewajiban santri menimba ilmu niatnya harus menghilangkan kebodohan. Atau harus ada titik perbedaan antara santri dan non santri. Salah satu ciri khas santri adalah budaya tawadhunya dan ini harus dipertahankan.

Beliau juga menambahkan bahwa santri itu selain sinau belajar juga harus diimbangi dengan riyadhoh atau latihan olah ruhani, olah batin dan spiritual. Dan yang terpenting juga tujuan menjadi santri adalah berniat menghidupi agama Allah swt. Beliau juga menegaskan seperti dikatakan ketua musyrifah, Ukhty Salma bahwa kita harus mensyukuri nikmat karena telah diberi kesempatan untuk menjadi santri.

Dua sambutan di awal lalu dilengkapi sekaligus di tutup oleh Pak Warek III Prof Abad bahwa ma'had itu berasal dari kata ahdun yang berarti perjanjian, waktu, kesepakatan, penggemblengan, janji, kontrak, ikatan, dll. Kata itu sebenarnya cukup untuk menggambarkan betapa kayanya arti dan peran mahad bagi kemajuan seorang santri plus mahasiswa. Arti mahad tersebut tentu harus diperhatikan oleh setiap santri lebih lagi dalam komitmen untuk fokus belajar.

Kata Prof Abad jika di sini UIN SATU tidak bisa mewadahi semua santri mukim seperti UIN Malang akan tetapi setidaknya kita memiliki program madin di pagi hari. Program itulah yang kini menjadi rujukan bagi setiap PTKIN untuk belajar ke sini. Prof Abad ingin menegaskan bahwa program seperti di pesantren tersebut bisa menjadi wadah efektif untuk menempa diri. Apalagi kajian turats dan keislaman harus terus dipelajari karena kampus ini sudah mendeklarasikan sebagai Kampus Dakwah dan Peradaban.

Setelah sambutan usai acara berlanjut dengan perkenalan para asatidz ma'had serta seluruh pengurus. Setelah itu acara ditutup dengan do'a oleh Syeikh Ahmad dari Mesir. Setelah usai barulah acara inti yaitu talk show bersama Ustadzah Tika, Ustadzah Rully dan Ustadzah Shofi. Acara talk show tersebut bertujuan untuk menyuguhkan kesadaran sekaligus refleksi apakah sistem pembelajaran ma'had mampu melahirkan karakter berintegritas dan akhlak karimah. Maka dari itu talk show tersebut sangat penting untuk menggerakkan mahasantri ke arah kemajuan. Harapan ke depan melalui acara ini para santri bisa lebih semangat dalam mengkaji Islam, karena ma'had adalah wadah efektif untuk meningkatkan kualitas diri.

the woks institute l rumah peradaban 5/10/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...