Woks
Beragama itu harus menggunakan akal tidak hanya fungsi batin saja. Dengan akal seseorang bisa berpikir jernih kritis dan ilmiah. Kendati agama dipenuhi dogma akan tetapi lewat akal lah, Allah sengaja membuatnya berfungsi untuk menalar. Akal adalah salah satu perangkat canggih setelah hati agar manusia berpikir realistis. Dalam hal ibadah pun demikian ada sisi di mana hati berfungsi ada sisi di mana akal dimatikan.
Kita sangat paham bahwa tugas seorang hamba adalah beribadah kepadaNya. Tapi kita juga harus paham bahwa ibadah sangat banyak variannya. Tidak bisa semua ibadah disamakan maka dari itu secara garis besar ada ibadah mahdah dan ghairu mahdah. Masalahnya kadang kita terlalu fokus dengan ibadah mahdah yang bernilai ukhrawi padahal ibadah ghairu mahdah seperti kerja mencari nafkah, peras keringat banting tulang yang dianggap duniawi juga bernilai ukhrawi.
Kadang kita memang berpikir tidak adil dengan dalih agama dan corak keakhiratan. Nilai itulah yang disebut nalar eskapisme yaitu berpikir terlalu mementingkan akhirat atau agama sebagai pelarian, dalam bahasa Marx agama sebagai pereda rasa sakit. Kita tahu akhirat hal yang penting karena ia adalah tempat kembali. Akan tetapi berpikir demikian pun harus disertai nalar logis jernih. Tidak asal sekadar berpikir sedang abai terhadap hak dan kewajiban lainnya. Bukankah ad dunya majraatul akhirah atau dunia itu tempat menanam dan akhirat tempat memanen.
Al Qur'an (28:77) menegaskan bahwa walaupun tujuan hidup harus diarahkan ke alam kelanggengan (akhirat), namun setiap Muslim tidak boleh melupakan urusan dunianya. (Simuh, 25). Islam memerintahkan Muslim untuk bekerja keras sebagaimana kenikmatan dunia adalah hak yang harus diperjuangkan. Selama menggunakan cara yang baik dan fastabiqul khairat Islam tidak mengharamkan kedudukan itu bahkan inti ajaran Islam terletak pada iman dan amal shaleh. Jadi dalam agama misalnya bertasawuf itu juga tidak murni harus khusyuk dalam dzikir terus menerus. Ada hal duniawi lainnya yang juga harus dilakukan dalam istilah Jawa, "Ora obah ora mamah".
Nabi Muhammad SAW pernah menegur pada sahabat yang melakukan laku hidup tapa brata, berpuasa, dan salat terus menerus siang malam. Beliau menegaskan pula lewat surah al Ashr bahwa inti ajaran Islam adalah iman dan amal shaleh bukan menyepi dan berdzikir umak-umik dengan memutar tasbih. Nabi bahkan mencontohkan dengan memimpin masyarakat, berjihad, aktif menyatukan dan membangun Madinah. (Simuh, 27).
Apa yang tertera dalam al Qur'an dan ditegaskan oleh Kanjeng Rasul sudah jelas bahwa fungsi keberagaman lewat akal pun tak kalah pentingnya. Jadi jangan sampai mempolitisasi kepentingan akhirat yang ternyata untuk kepentingan dunia. Bisa jadi hal itu adalah dalil agar ulama juga berminat untuk terjun ke politik. Tujuannya sederhana bahwa ibadah bisa dilakukan dengan cara apapun. Bahkan bertafakur lebih baik daripada seribu shalat sunnah. KH. Yahya C Staquf bahkan tegas bahwa ulama tidak boleh lari dari tanggungjawabnya. Ulama harus turun menjawab setiap tantangan zaman. (Disampaikan saat halaqah fikih peradaban di Krapyak Yogyakarta). Bahkan Gus Dur lebih tegas lagi bahwa ulama akan dikutuk jika tidak mau tahu urusan di luar ibadah ritual dalam hal ini problem sosial.
Inilah pentingnya peran akal dalam beragama. Setelah itu sebelum ilmu maka akhlak yang harus dibangun. Basis akhlak adalah hal utama karena menurut KH. Said Aqil Siradj krisis akhlak dan budaya jauh lebih bahaya daripada krisis ekonomi. Dengan begitu soal urusan agama, dunia pun tak kalah pentingnya. Biasanya orang yang memiliki nalar eskapisme justru berpikir dogmatis, kehilangan nalar dan selalu menyandarkan diri pada Tuhan, dalihnya adalah "lillahi ta'ala". Seharusnya sandaran pada Tuhan juga harus diimbangi dengan ikhtiar. Kata Syaikhuna KH. Maemun Zubair salah satu yang merusak dunia adalah manusia yang tak memiliki keinginan, semugih والجده.
Orang-orang dengan corak eskapisme justru selalu berpikir tidak rasional karena anggapan semua akan diselesaikan oleh Allah. Tuhan justru terimajinasikan seperti ibu peri dengan tongkat ajaibnya. Maka dari itu dalam bahasa Taufiqurrahman kehilangan sikap berpikir ilmiah. Contoh paling nyata ketika pandemi melanda banyak orang yang berpikir agama tapi kehilangan daya kritis. Padahal dalam agama sudah jelas harus berdasar ilmu bukan nafsu. Hal ini yang menjadi sebab mengapa Islam mengalami kemunduran? karena umat Muslim sendiri kehilangan tonggak dalam peradabannya. Peradaban di sini adalah usaha untuk belajar, riset dan ijtihad. Hal itu pula percis fenomena di medsos bahwa setiap orang merasa paling suci dalam agama. Akibatnya orang ketika malas membaca akan sangat bergairah dalam berkomentar.[]
the woks institute l rumah peradaban 12/10/22
Komentar
Posting Komentar