Langsung ke konten utama

Jadi Guru Itu Harus Luwes




Woko Utoro

Beberapa hari lalu saat kami bersepeda ria di sebuah lapangan. Kami melihat banyak pemuda yang berolahraga di lapangan tersebut. Lalu setelah kami singgah di sebuah aula dekat pasar di sana ada 4 orang bapak-bapak sedang bercengkrama. Ketika mereka melihat keberadaan kami lantas terjadilah dialog tanpa skenario.

Nampaknya 4 orang bapak-bapak dan di antaranya sudah sepuh tersebut sepertinya seorang pensiunan guru. Bahkan satu di antaranya memperkenalkan diri sebagai salah seorang pengurus pondok pesantren di era mudanya. Mereka kebetulan istirahat bersama kami selepas bersepeda ria pagi. Tanpa banyak basa-basi bapak-bapak sepuh mengajak saya bicara.

Kata beliau nama mu Woko ya. Saya pun heran mengapa beliau tahu sebelum saya memperkenalkan diri. Ternyata kata beliau nama mu sudah tertera di telapak tangan saya sebelum perkenalan itu terjadi. Saya pun hanya tersipu malu dan pastinya itu hanya strategi saja agar perbincangan kita jadi hangat.

Dalam perbincangan tak terduga tersebut beliau berpesan bahwa nama saya memang cocok sebagai guru agama, bukan guru olahraga. Beliau dengan riang gembira lagi humoris berbagi kisah tentang profesi guru yang diembannya di masa muda. Kata beliau guru itu tidak membuat kita menjadi kaya secara materil akan tetapi menjanjikan kita kaya secara nurani. Oleh karena itu menjadi guru bagian dari profesi pengabdian.

Kata beliau kalau jadi guru itu yang ikhlas, yang luwes dan sabar. Sebab perjalanan mendidik dulu dan saat ini sudah berbeda. Beliau menukil dawuh Sayyidina Ali, "Al insan abna'uz zaman" atau didiklah anak-anak mu sesuai zamannya. Karena zaman mu dulu dengan saat ini telah berbeda. Anak sekarang itu jika ditegasi maka akan mudah ceklek'an, purik atau patah hati. Berbeda dengan dulu, anak-anak bahkan selalu dididik ala militer. Sehingga jika menyangkut sesuatu yang prinsip tidak bisa diajak kompromi. Benar ya benar dan salah ya salah.

Berkaitan dengan hal itu beliau berpesan jika menjadi seorang guru haruslah luwes. Artinya harus disesuaikan dengan kebutuhan, keadaan, medan dan kemampuan. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu diterapkan dengan sempurna. Maka perlunya kesabaran serta tahap demi tahap. Serahkan semua keberhasilan hanya kepada Tuhan. Kita sebagai guru hanyalah perantara.

Karena guru memiliki keterbatasan selalulah mendoakan para siswa agar mereka diberikan kemudahan dalam menimba ilmu. Doakan mereka agar menjadi anak yang berguna dan pastinya beradab. Bahwa pendidikan dan agama itu fungsinya sama yaitu membimbing manusia menjadi insan mulia. Menjadi manusia yang tidak mendewakan kepintaran otak tapi kesucian jiwa.[]

the woks institute l rumah peradaban 23/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...