Langsung ke konten utama

Kerjasama dan Tolong-Menolong




Woko Utoro

Manusia adalah mahluk yang saling membutuhkan kehadiran sesamanya atau Aristoteles menyebutnya zoon politicon. Saling membutuhkan tersebut dipersatukan dalam kontrak sosial. Dalam artian bekerja sama dan saling membantu. Hidup berdampingan memang harus kerjasama. Tanpa kerjasama segala tujuan hidup tak akan tercapai. Akan tetapi kerjasama saja tidak cukup maka harus ada sikap saling percaya.

Menurut JJ Rousseau (2007) kepercayaan adalah wilayah psikologis yang merupakan perhatian untuk menerima apa adanya berdasarkan harapan terhadap perilaku baik. Kepercayaan merupakan modal sosial di mana seseorang akan mampu membuat akses lebih jauh dalam usaha. Kelancaran komunikasi dan interaksi sesama anggota dalam jaringan sosial, merupakan hasil kepercayaan. Kerjasama dan kepercayaan (trust) adalah modal utama untuk membina hubungan sosial.

Dalam konteks bisnis pun sangat dikenal dengan konsep saling kerjasama dan tolong-menolong. Dengan konsep itulah maka sesama kita akan saling menjaga. Rasa percaya itulah sejatinya yang teramat mahal. Jangan sampai seseorang kehilangan kepercayaan. Dalam bertetangga misalnya sebelum adanya pagar rumah justru saling percaya adalah penjaganya. Dalam masyarakat desa kepercayaan adalah pagar alami untuk saling menjaga sesamanya.

Selain kejujuran saling tolong-menolong adalah mata uang yang berlaku di manapun. Orang yang suka menolong tak akan bertanya identitas atau agama. Menolong tentu menolong saja dan memang bagian dari kewajiban. Orang yang suka menolong sangat yakin bahwa hidup adalah timbal balik. Menurut Sarwono (2017) bahwa kita menolong orang lain maka akan ditolong pula. Begitu pula dengan kejahatan pasti akan ada balasannya pula, orang Hindu menyebutnya karma.

Menurut Gerungan (2010) tolong-menolong adalah titik patokan dalam norma sosial. Orang yang saling tolong-menolong merupakan ciri dari masyarakat yang sehat. Karena bagaimanapun juga tolong-menolong adalah perintah agama. Dalam surah Al Maidah ayat 2 dijelaskan bahwa hidup salah satu esensinya adalah tolong-menolong. Yang terpenting rambu-rambunya jelas bahwa tolong-menolong diperbolehkan dalam upaya takwa dan tidak untuk kemaksiatan.

Lewat tulisan sederhana ini kita tengah belajar bahwa kerjasama, tolong-menolong dan rasa saling percaya adalah salah satu kunci untuk membina hidup yang harmonis. Jika hidup saling curiga, egoistik, acuh tak acuh, serta miskin empati maka bubrahlah masyarakat. Bukankah lewat persatuan bangsa kita merdeka. Begitulah kata Mbah Wahab Hasbullah bahwa persatuan adalah obat mujarab untuk meraih kesuksesan.

Bahan bacaan :
Gerungan, W.A, Psikologi Sosial (Bandung : Refika Aditama, 2010)
Rousseau, J.J, Kontrak Sosial (terj. Sumardjo), (Jakarta : Erlangga, 2007)
Sawono, W. Sarlito, Psikologi Sosial (Jakarta : Rajawali, 2017)

the woks institute l rumah peradaban 4/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...