Woko Utoro
Selama saya berproses di sini (baca: Tulungagung) banyak hal yang dapat dipelajari utamanya soal tradisi. Salah satu yang mentradisi adalah jagong kaji. Istilah jagong pun terdapat pada jagong bayi atau jagongan biasa orang menyebutnya cakruk. Jagong kaji biasa disebut juga zaroh kaji yang diambil dari akar kata ziarah atau berkunjung.
Setiap ada tetangga atau saudara yang pulang dari ibadah haji masyarakat memang sering melakukan tradisi jagong kaji. Alasan utamanya tentu ngalap berkah dan berharap doa baiknya. Jagong kaji memang telah berlangsung lama, sudah tertradisi sejak para sesepuh dulu bahkan menjadi anjuran dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa Sahabat Abdullah bin Umar dari Rasulullah agar memberi salam, berjabat tangan dan meminta do'a pada mereka sepulang dari ibadah haji. (Syamsul Arifin, NUonline).
Adapun acara seremonial yang menyertai keberangkatan hingga kepulangan orang ibadah haji adalah tradisi masyarakat modern. Biasanya mereka akan mengundang kiai untuk mengisi ceramah, menampilkan parade musik hingga hiburan islami lainnya. Orang-orang meyakini bahwa keberkahan sepulang haji adalah hari pertama hingga ke tujuh padahal menurut Imam Ghazali, sahabat Umar bin Khattab menyebutkan lebih dari seminggu yaitu hingga bulan Rabiul Awwal.
Ketika kita jagong kaji selain ngalap berkah doa tentu sajian oleh-oleh khas Timur Tengah seperti kurma, kacang kismis hingga air zamzam tak boleh dilewatkan. Selain itu di sini juga berlaku makan nasi rawon atau soto seperti orang hajatan. Termasuk beberapa buah jajanan khas sambil ngopi atau rokok'an. Pulangnya kadang masih diberi bingkisan seperti sajadah, tasbih, surban atau kopiah. Bahkan ada juga amplopan seperti orang kondangan dan ibu-ibu biasanya membawa beras.
Yang paling menarik dari prosesi jagong kaji adalah cerita-cerita yang melingkupinya. Contoh kata salah seorang jamaah haji yang saya temui beliau cerita selama beribadah 40 hari di sana. Katanya di sana ibadah di bagi menjadi 2 waktu sesuai gelombang kedatangan misalnya 30 hari di Mekah dan 10 hari di Madinah atau sebaliknya. Sedangkan jutaan manusia akan bertemu dalam satu titik ketika puncak ibadah haji tiba.
Perlu diingat bahwa selama sekitar 3 minggu setelah kedatangan di sana tidak ada kegiatan apapun. Maka kita harus pintar-pintar dalam mengisi kekosongan tersebut. Jadi jamaah yang biasa memiliki amalan tertentu di rumah bisa diamalkan selama di sana. Jangan sampai menganggur selama waktu tersebut. Karena perjalanan ibadah haji justru yang utama terjadi sekitar 10 hari menjelang puncak haji 10 Dzulhijjah.
Ketika kita ibadah haji benar-benar luar biasa. Di mana seseorang akan merasakan betapa susah payahnya perjuangan Sayyidah Hajar ketika sa'i. Bisa dibayangkan sa'i menempuh sekitar 700 meter dikali 7x bolak-balik baina Shafa wal Marwah. Tidak hanya itu thawaf pun memerlukan perjuangan yang luar biasa. Kata H. Nasrullah yang kami temui bahwa thawaf jika berada di pelataran bawah dekat Ka'bah lebih terasa mudah. Berbeda dengan mereka yang di lantai atas bisa jadi putarannya mencapai 1,2 kilo meter dikali 7x putaran. Sudah bisa dibayangkan betapa berlelah-lelahnya orang yang ibadah haji. Bahkan di tahun ini jamaah yang meninggal tergolong besar hingga ratusan orang. Karena pemerintah memberikan prioritas pada jamaah lansia untuk beribadah dahulu.
Maka dari gambaran tersebut istitha'ah (kuasa) diartikan dengan begitu luas. Tidak hanya kuat secara materil harta melainkan kesiapan mental, pikiran, psikis, dan pastinya ilmu. Di sana saat ini dan dulu pastinya berbeda terutama soal konstruksi bangunan dan cuaca ekstrim. Terlebih jamaah haji asal Asia seperti Indonesia rerata bertubuh kecil sehingga harus memiliki kesiapan ekstra. Kata H. Nasrullah ilmu menjadi salah satu faktor utama. Karena bagaimana pun juga banyak jamaah yang tidak menunjang ibadahnya dengan ilmu padahal ketika pelatihan manasik jumlahnya sampai 27 kali.
Di Mekah itu tanah haram, tanah wingit. Bisa saja orang mengikuti pelatihan 27 kali ketika menginjakkan kaki di sana pelatihan mereka langsung hilang seketika. Tentu kisah-kisah seperti itu jamak kita ketahui. Kata H. Nasrullah di sana ada orang yang tiba-tiba stress alias linglung mengira masih di rumah sendiri. Ada juga orang yang mondar-mandir tidak tahu arah. Ada juga orang yang merasa kesepian sendiri, pada di sana berjubel-jubel jamaah. Semua fenomena itu tergantung amal yang dilakukan selama hidup di kampung halaman. Tapi tidak usah khawatir selama didasari dengan ilmu maka prosesi ibadah tak akan terganggu.
Saya ingat dalam podcast Habib Husein Ja'far Al Haddar ada pemuda tersesat bertanya jika mereka sudah mampu tapi tidak ingin berhaji karena alasan takut terjadi sesuatu di tanah Mekah bagaimana hukumnya. Habib Ja'far menjawab sangat diplomatis bahwa orang beribadah haji bukan panggilan harta akan tetapi panggilan Allah ta'ala. Maka dari itu santai saja selama didasari keyakinan dan kerinduan akan Baitullah, insyaallah tidak terjadi apa-apa.
Demikianlah sekilas mengenai kisah-kisah orang-orang sepulang haji. Tentu kita berharap semoga Allah berkenan memanggil kita ke sana. Mengunjungi Baitullah yang mulia dan berziarah ke makam junjungan alam, Kanjeng Nabi Muhammad SAW serta napak tilas perjuangan Nabi Adam Sayyidah Hawa dan meneladani keluarga Nabi Ibrahim.[]
the woks institute l rumah peradaban 23/7/23
Komentar
Posting Komentar