Langsung ke konten utama

Tentang Motto Thesis




Woko Utoro

Rerata mahasiswa ketika mendengar kata "sidang" rasanya langsung ketakutan. Sidang seolah menjadi kata yang ditakuti sekaligus diidam-idamkan. Sidang memang seolah menjadi momok tersendiri bagi mahasiswa. Pasalnya sudah terlanjur terpola dalam pikiran bahwa dosen penguji selalu diimajinasikan killer, padahal tidak semua.

Berbeda dengan saya ketika sidang thesis kemarin. Suasana di lokal 3 Pascasarjana UIN SATU Tulungagung tersebut justru penuh riang gembira alias tawa. Mindset awal ruang sidang yang angker itu seolah langsung cair. Saya sendiri sempat gugup di awal ketika memulai presentasi. Tapi faktanya ketika sesi tanya jawab dimulai para penguji malah lebih banyak memberi masukan sekaligus guyonan. Tentu hal itu saya tanggapi juga hanya dengan senyuman.




Yang akan saya kenang dari sidang thesis kemarin adalah soal motto akademik. Motto akademik dalam penelitian tugas akhir memang menjadi salah satu yang ditanyakan oleh penguji. Maka dari itu dalam membuat motto harus disesuaikan dengan judul penelitian. Jangan sampai motto dibuat sekarep dewe. Tentu ada kaidah yang berlaku sebagai penunjang judul penelitian yang sudah dibuat. Kebetulan judul thesis saya adalah, "Terapi Qur'ani Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Jam'iyyah Ruqyah Aswaja Kabupaten Tulungagung)". Karena judul tersebut berkaitan dengan metode penyembuhan maka motto saya adalah Surah Al Isra ayat 82.

Adapun teks surah Al Isra : 82 adalah sebagai berikut;
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا ﴿ ٨٢﴾

"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian".

Dari motto tersebut Prof Syamsu Niam sebagai penguji utama konten isi menanyakan apa arti dari kata شفاء yang saya ketahui. Untung saya sebelum ujian sudah membaca beberapa tafsir dari kata شفاء tersebut. Maka saya menjawab setidaknya ada 2 arti. Pertama syifa berarti obat yaitu bahwa Al Qur'an diturunkan memang sebagai obat atas segala penyakit. Menurut Gus Amma' (Mu'jiz JRA) bahwa Al Qur'an itu bukan alternatif tapi solusi utama penyakit jasmani dan rohani. Kedua, saya menjawab bahwa syifa berarti pendidikan.

Pendidikan tersebut berasal dari kenyataan bahwa dulu di zaman Nabi umat Islam banyak yang keluar dari jalur kitab sucinya. Mereka berbuat aniaya, serakah, sombong dengki, ujib, riya, maka Al Qur'an datang sebagai penyembuh dari penyakit hati. Umat Islam pernah mengalami keterpurukan karena tidak mengindahkan kitab sucinya maka lewat ayat tersebut mereka dididik dan diingatkan agar kembali pada Al Qur'an. Maka syifa di sini berarti pendidikan yang maknanya terus relevan sepanjang zaman. Itu artinya bahwa pendidikan adalah solusi atas segala problem kebodohan hidup. 

Lewat pendidikan kebodohan akan terkikis. Maka pendidikan juga berarti syifa. Dalam konteks kekinian berarti orang yang tidak terdidik atau tidak mau mengaji berari mereka tengah mengidap sebuah penyakit. Di mana penyakit tersebut harus disembuhkan dengan cara belajar menemui orang-orang berilmu (guru, kiai, tabib, dokter dll).

Menurut Prof Syamsu Niam kata syifa atau Al Qur'an secara umum jangan dimaknai sebagai obat. Karena makna itu justru hanya mempersempit dan memang faktanya Al Qur'an bukan sekadar obat tapi pedoman hidup umat manusia. Selanjutnya faktor utama dalam kesembuhan sebenarnya bukan soal Al Qur'an melainkan kadar keyakinan. Prof Syamsu Niam berkisah, dulu ada seorang dokter muda yang pasiennya sangat banyak. Beliau menjadi dokter primadona dan memang banyak pasien cocok sembuh berobat lewat kliniknya.

Singkat kisah si ibu sang dokter tersebut sakit. Akan tetapi sang ibu tidak mau berobat lewat anaknya itu. Sang ibu tetap keras kepala ingin berobat di luar saja. Akhirnya sang anak itu mengantar ke dokter lain di salah satu rumah sakit. Entah alasan apa yang membuat sang ibu tidak mau diobati oleh anaknya sendiri padahal ia dokter idola. Akhirnya ketika sudah diperiksa dokter di rumah sakit mengatakan pada mereka bahwa, "Ini resepnya diminum 3X sehari". Mereka pun akhirnya pulang dengan gembira.

Sesampainya di rumah ibu dan anak yang dokter itu terlibat perdebatan sengit. Sang ibu kekeh bahwa yang harus diminum adalah resep obatnya. Tapi kata sang anak yang diminum itu obatnya bukan resep obatnya. Sang ibu yakin bahwa yang ia dengar dari dokter di rumah sakit menyuruh saya meminum resep obatnya. Akhirnya dalam kisah tersebut sang ibu meminum kertas resep obat bukan obatnya. Tapi keanehan justru terjadi di mana si ibu tersebut malah sembuh dari penyakitnya. Dari kisah ini jelas faktor X memang lebih kuat daripada apa yang terlintas dari pikiran kita.

Dalam Epistemologi Do'a, Dadang Ahmad Fajar menyebutkan bahwa puncak dari kesembuhan atau keinginan adalah pada keyakinan. Maka semakin orang yakin terhadap apa yang dibacanya walaupun mereka tidak tahu artinya bisa dipastikan hajat akan terkabul. Begitulah kiranya, Prof Syamsu Niam pun menambahkan bahwa fenomena suwuk yang dilakukan kiai atau sesepuh mengapa mandhi (ampuh/mujarab) tak lain karena keikhlasan dan faktor berserah diri. Jadi keyakinan total akan dzat Allah yang maha penyembuh adalah hal utama yang harus dimiliki seorang peruqyah. Maka dari itu dalam segala hal keyakinan adalah puncak dari doa harapan. Karena percaya saja tidak cukup harus ada keyakinan kuat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali padaNya.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/7/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...