Woko Utoro
Perdebatan mengenai siapa santri, apa pengertian santri saya kira sudah selesai. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana cara memaknai hari santri sebagai sebuah tonggak peradaban. Di momen hari santri sebenarnya kita diingatkan tentang banyak hal. Maka dari itu memaknainya jauh lebih utama daripada sekadar seremonial belaka.
Pertama, bahwa hari santri itu rahmat Allah yang harus disyukuri. Terlepas hadir lewat cara politik. Yang jelas hari santri adalah bentuk negara menghormati kaum santri. Peran, kiprah, kontribusi dan sejarah kaum santri tidak bisa diabaikan. Sehingga dari itulah negara memiliki hutang budi kepada kaum santri.
Kedua, santri jangan terlena karena kontribusi, jasa atau kebesaran nama pesantren. Harusnya santri berpikir mendalam bagaimana cara untuk terus menghidupkan warisan para masyayikh. Hal tersulit bukan meraih melainkan mempertahankan. Terutama dalam kaitannya menjaga marwah pesantren, ta'lim ta'alum, nasyrul ilmi, khidmah dan memperbaiki laku lampah.
Ketiga, hari santri bukan disandarkan pada identitas simbolik seperti kopiah, sarung, gamis atau kerudung. Melainkan pada akhlak, ilmu dan sikap rendah hati di masyarakat. Menjadi santri adalah tanggungjawab. Santri bukan untuk kebanggaan atau gagah-gagahan. Santri adalah upaya untuk memperbaiki diri dengan terus mengaji.
Gus Baha berkata bahwa kekayaan sebenarnya pada negeri ini bukan pada sumber daya alam melainkan sumber daya manusia. Jika manusianya baik maka negara akan terjamin keamanannya. Jika manusianya rakus maka sumber daya alam sebanyak apapun tak akan cukup.
KH Nurul Huda Djazuli menyandarkan santri dengan berilmu amaliyah, beramal ilmiyah. Artinya bahwa segala sesuatu itu ada sanad dan rujukannya. Bukan asal dan berdasar nafsu pribadi. Sedangkan KH Said Aqil Siradj memberi pesan bahwa kekayaan santri terletak pada akhlak, wisdom, sosial kapital dan hubungan guru murid.
Keempat, santri harus tirakat terutama dalam melihat dunia yang makin gemerlap. Sederhananya segala sesuatu yang didapat di pesantren harus jadi lentera sebagai pemandu di kala gelap. Ilmu di pesantren harus jadi tongkat sebagai petunjuk jalan dikala tersesat. Intinya bahwa ilmu sekecil apapun harus diamalkan dan jangan berhenti ketika dinyatakan lulus. Santri itu sampai mati.
Kelima, santri harus rajin mencatat. Kata Gus Dur dzikirnya santri ya membaca dan menulis. Ketika santri kehilangan dua hal itu maka mandeglah ilmu. Bagaimanapun juga santri adalah subjek untuk mengembangkan keilmuan, penggerak masyarakat dan penjaga moral bangsa. Jika santri sudah malas-malasan lantas apa esensi hari santri yang diperingati tiap tahun. Apakah kita menunggu dijajah secara fisik dulu baru bergerak? tentu tidak. Karena penjajahan masih berlangsung bahkan dalam bentuk paling melenakan yaitu dunia digital.[]
the woks institute l rumah peradaban 22/10/25
Komentar
Posting Komentar