Langsung ke konten utama

Asuransi Masyarakat dan Sebuah Tragedi Kemanusiaan

Woks

Sejak tahun 1583 di London kita baru saja mengenal apa itu asuransi sebagai sebuah konsep baru bagi manusia yang menggunakannya. Asuransi tak lain merupakan program di mana seseorang menyetorkan iuran lantas di beberapa waktu iuran tersebut bisa digunakan sebagai jaminan. Jaminan tersebut bisa berupa kesehatan, kecelakaan, melahirkan, pendidikan hingga kematian. 

Sebenarnya secara sederhana asuransi adalah metode menabung atau memutar uang agar modal tersebut selalu dinamis. Akan tetapi tidak semua orang bisa menikmati fasilitas yang katanya serba gratis itu. Nyatanya jika tidak terdaftar dan tidak iuran tiap bulannya apalah artinya. Kadang orang kecil yang kesulitan ekonomi akan lebih sulit lagi jika ikut dalam program asuransi tersebut. Apakah pemerintah sebagai regulator tertinggi sudah mampu menjamin warganya dari segala ketimpangan, rasanya belum.

Mari kita lihat realitas bahwa pemerintah masih perlu instrospeksi terhadap keadaan yang miris lewat film Daun di Atas Bantal. Film besutan sutradara Garin Nugroho pada tahun 1998 tersebut sangat menarik dalam memotret keadaan masyarakat pinggiran. Dengan latar belakang kaum papa di daerah Yogyakarta Garin sukses membuat Asih (Crintine Hakim), Kancil, Sugeng, dan Heru memerankan masyarakat yang termarjinalkan. Mereka memerankan kondisi kaum pinggiran Jogja dengan segala keterbatasanya, budaya kriminal, asusila, kumuh, bar-bar, hingga bertaruh nyawa mudah ditemui di sana. Singkat cerita Kancil harus meregang nyawa karena kecelakaan saat mengambil bantal di atas atap kereta yang menyebabkan lehernya putus.

Lain lagi dengan Heru ia harus menjadi korban nyawa oleh segerombolan orang dengan kedok penipuan asuransi. Tak kalah mengerikanya juga terjadi pada Sugeng, ia tewas ditikam benda tajam karena kesalahpahaman. Orang mengira bahwa Sugeng adalah pembunuh yang selama ini sedang di cari, padahal ia adalah korban salah sasaran. Mayat Sugeng tergeletak di pojok jalan dan nahasnya jenazahnya selalu ditolak warga karena ia tidak memiliki identitas yang jelas. Jangankan untuk adapat asuransi untuk sekedar mendapat kebaikan pemerintah pun anak jalanan seperti mereka tak ada. Miris hati memang ketika menyaksikan kenyataan pahit itu bahwa sebagian sisi kemanusiaan kita telah mati rasa. Orang-orang di kota masih tidak memperdulikan ketika sesamanya mengalami diskriminasi. Mungkin di desa pun tak jauh beda, masih banyak orang-orang yang tega menelantarkan anak-anak karena alasan malu dan aib. Padahal secara manusiawi mereka tak jauh lebih hina dari binatang.

Tragedi penelantaran anak memang masih sering kita jumpai. Mereka besar di jalanan dan ketika dewasa menjadi pelaku kriminal. Lalu siapa yang salah? sebenarnya bukan waktunya menyalahkan. Saat ini kita dan siapapun seharusnya lebih berperan aktif untuk bisa merangkul mereka. Bukankah tempat-tempat penitipan anak, rehabilitasi, pondok, dan instansi yang menangungi bisa kita akses. Jika fasilitas negara tidak bisa dinikmati oleh mereka anak terlantar karena ketidakberdayaan soal administrasi maka apa boleh buat. Negara memang masih belum hadir buat mereka. Negara masih setengah hati dalam melihat problematika ini.

Seharusnya kita terbuka dan berkaca dari asuransi bahwa sebenarnya siapapun bisa dirawat negara. Karena perlu dipahami bahwa mereka adalah korban. Jadi kita selayaknya tau bahwa bagaimana memperlakukan korban sebagaimana mestinya. Ingat mereka juga manusia sama seperti kita yang perlu uluran tangan, memiliki harapan hidup, berubah dan dijamin keamanannya.

the woks institute l rumah peradaban 24/01/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan