Langsung ke konten utama

Beberes Umah: Sebuah Refleksi Menjelang 1 Abad NU


Woks

Tidak terasa usia NU akan semakin sepuh. Usia yang terbilang tidak muda lagi untuk sebuah organisasi yang didirikan tahun 1926 tersebut. Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan peninggalan para sesepuh itu, NU telah banyak melewati berbagaimacam hal seperti perlawanan terhadap rezim otoritarian, penerimaan dasar negara Pancasila, kembali ke khittah 26, mengonsep negara Darussalam, menjembatani konflik rasial, memutuskan relasi muslim dan non-muslim, rekonsiliasi dan dukungan buat Palestina, menolak gagasan full day school, komitmen mengawal setia pluralisme dan NKRI.

Sejarah memang telah berlalu tapi saat ini NU akan melewati sejarah ke arah masa depan. Dalam menyongsong 1 abad NU tentu kita terus berbenah. Organisasi besar ini pastinya akan mengalami gejolak serta pasang surut kepemimpinan. Suksesi kepemimpinan di tubuh NU tentu telah berlangsung lama sejak ketua pertama KH Hasan Gippo hingga KH Said Aqil Siradj semua telah membawa roda organisasi sesuai dengan zamannya.

Refleksi kita saat ini adalah bertanya seperti yang disampaikan peneliti LIPI Amin Mudzakir bahwa setelah usia 95 atau bahkan di 100 tahunya NU mau apa. Pertanyaan ini penting disuguhkan karena memang selama ini peran strategis NU sedang dipertanyakan. NU sebagai organisasi besar tentu punya pengaruh besar pula terutama bagi kalangan pemerintah dan akar rumput. Saya rasa jika soal komitmen kebangsaan NU tidak diragukan lagi sebab bangsa ini adalah rumah di mana hampir mayoritas warga NU bernaung. Akan tetapi kekhawatiran jika semakin mayoritas maka superioritas akan jadi kekuatan dan di sinilah kekhawatirannya.

Di usia ke-95 tahun versi masehi ini tentu banyak hal yang harus dibenahi oleh NU. Ibarat rumah NU harus terus bersolek guna meningkatkan keamanan dan kenyamanan. Rumah NU tidak boleh dibiarkan berdebu atau bahkan jemu dan berlalu. Kita boleh saja besar tapi jika kosong bak buih dilautan sama saja. Organisasi peninggalan ulama ini tentu harus dirawat dengan ilmu. Tanpa keilmuan dan kearifan maka organisasi tersebut justru berpotensi terseok-seok. Salah satu hal yang perlu dibenahi di tubuh NU adalah kaderisasi yang formalistik. Yaitu pengkaderan dengan tanpa memperhatikan kualitas. Jika hanya fokus dengan kuantitas diakhir justru hanya akan menjadi sandungan buat NU. Merawat orang dengan segala latar belakang itu tidak mudah dan perlu penanganan tepat.

Di satu sisi gairah intelektual anak muda NU tidak diragukan. Kini anak-anak muda NU terutama kalangan struktural telah mewarnai berbagai kajian, forum ilmiah, sosial, kebudayaan, politik hingga peran strategis lainya. Tak kalah pentingnya peran mereka ialah mengawal pergerakan digitalisasi yang masif. Kita tahu sejak lama NU selalu terstigma tradisional padahal perkembangan pemikiran NU telah melampaui zamanya salah satunya dengan moderatisasi Islam, pribusasi Islam hingga membuat platform digital sebagai jembatan menyesuaikan zaman. Catatan ke depannya ialah saat ini diperlukan kaderisasi sumber daya pesantren yang mampu mewarnai media sehingga peran ganda baik didunia maya maupun nyata bisa dikuasai dengan baik terutama di kalangan akar rumput.

Selanjutnya NU masih terus berjuang dalam berbagai hal di antaranya perjuangan melawan populisme, radikalisme, konservatisme beragama, sekulerisme dan liberalisasi ekonomi, politik bebas aktif, serta penguatan paham kebangsaan dan perjuangan merawat tradisi budaya. Pekerjaan rumah NU ke depannya semakin banyak dan pasti akan bertransformasi ke berbagai hal. Sehingga strategi, manuver, serta kaderisasi selayaknya sudah diperiapkan sejak dini. NU masih memiliki beban ganda sebagai pangemong sekaligus menjadi tumpuan bagi hampir 2 juta warga yang dinaungi organisasi ini.

Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bernafas agama tentu NU masih terus berjuang dalam membumikan ajaran ahlus sunnah wal jamaah. NU juga masih menjadi pilar atau tempat bernaungnya lembaga pendidikan tertua yaitu pesantren yang ke depannya akan berhadapan dengan arus digitalisasi yang masif. Mampukah NU mempertahankan rumahnya? tentu ini menjadi tugas bersama karena tanpa dorongan masyarakat sipil yang solid NU tidak akan menjadi apa-apa. Para pendiri telah mengamanatkan NU dan bangsa menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika di zaman Orba NU paling getol mengkritisi pemerintah karena memang pemerintahnya harus dilawan tapi saat ini kita membersamai pemerintah dalam menciptakan stabilitas, kesejahteraan masyarakat, keadilan, berbudaya, beradab dan toleransi antar sesama. Mari kita terus berkhidmah menebar Aswaja dan meneguhkan terus komitmen kebangsaan.

the woks institute l rumah peradaban 26/01/21





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...