Langsung ke konten utama

Bertemulah Sebelum Berpisah

        (doc. penulis saat ikut dlm acara)

Woks

Pada Selasa malam saya berkesempatan mengikuti acara zoomeeting dalam rangka "Lelang Amal dan Tasyakuran Ulang Tahun Lurah Pondok Virtual Ihya Ulumuddin Gus Ulil Abshar Abdalla ke-54". Acara yang katanya serba dadakan itu setidaknya membuat saya tertegun untuk beberapa saat dan mengharuskan saya membuat catatan kecil ini. 

Dalam sambutannya Gus Ulil yang juga didampingi Mbak Admin Ning Ienas memaparkan tentang pengalaman beliau selama ngaji ihya, kopdar ke sana-kemari, termasuk juga kegiatan selama musim pandemi. Dalam keadaan itulah Gus Ulil berbagi kisah bahwa walaupun keadaan dunia masih kritis karena pandemi setidaknya kita masih memetik banyak hikmah. Mungkin jika memilih tentu kita berharap ingin seperti sediakala, di mana seseorang bisa berinteraksi tanpa perlu was-was lagi waspada. Akan tetapi Tuhan berkehendak lain bahwa saat ini manusia harus dipaksa belajar dengan kondisi yang mereka sendiri belum pernah merasakan sebelumnya dalam sejarah.

Poin penting sekaligus mengena sehingga harus saya catat dari dawuh Gus Ulil adalah tentang pertemuan dengan seorang teman. Di mana pertemuan itu terasa lebih bermakna, berbobot dan terlena karena tidak ingin segera mengakhiri pertemuannya. Entah apa faktornya yang jelas pertemuan dengan teman selama pandemi menjadi terasa lebih syahdu. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan lewat kata selain pertemuan adalah sesuatu yang hakiki. Dari banyak pertemuan demi pertemuan itu Gus Ulil sampai-sampai dimarahi Mbak Admin karena tak kenal waktu. Intinya pertemuan menjadi tampak berharga di musim pandemi ini. Seolah-olah raga tak ingin berpisah begitu cepat. Bahasa saya, seperti kopi jangan segera disruput nikmati dulu aroma hangatnya.

Saya tidak mengikuti acara hingga usai kecuali menyaksikan beberapa segmen saat para tokoh memberi ucapan, doa selamat buat ahlul milad Gus Ulil serta lelang beberapa benda berharga beliau seperti peci putih dari Gus Mus, peci hitam motif, beberapa sarung dan tas. Akan tetapi saya benar-benar merenungkan apa yang didawuhkan Gus Ulil tersebut seolah-olah mensyaratkan bahwa waktu, kesempatan, teman dan ilmu menjadi hal yang penting. Apalagi di musim pandemi seperti ini kita justru harus lebih aktif lagi dalam membantu sesama.

Sebagai santri Umbrus saya tentu berpikir tentang khualitas waktu. Bagaimana jika kita diberitahu tentang waktu akhir di hidup ini apa yang akan kita perbuat. Termasuk kita diajak untuk menghayati lagi ajaran ingat 5 perkara sebelum 5 perkara. Sehingga jika kita tersadar akan hal itu maka kesempatan dalam sebuah pertemuan adalah kenikmatan yang tak boleh diabaikan. Seperti kata Ebiet G Ade bahwa "bertemu dan berpisah sama-sama nikmat", tinggal bagaimana kita menghayatinya.

Terakhir yang harus saya renungi adalah bagaimana kita bersyukur atas nikmat waktu dan pandemi. Saat pandemi banyak waktu luang yang tersedia termasuk kita harus dipaksa kerja WFH. Pada kondisi tersebutlah sebenarnya kita tengah memanfaatkan fasilitas mahal berupa bisa lebih dekat lagi dengan keluarga, harus tetap hati-hati, kesehatan itu mahal dan menghayati tentang usia. Karena sesungguhnya usia makin bertambah juga hakikatnya berkurang. Jadi dari semua itu kita diajak untuk membuka mata dan hati agar lebih objektif lagi dalam memandang dunia. Jika punya kesempatan bertemu maka bertemulah sebelum kita benar-benar berpisah selamanya. *Sugeng tanggap warsa Gus Ulil, berkah dalem.

the woks institute l rumah peradaban 12/1/20


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan