Woks
Tuhan
di mana Engkau?
Apakah selama ini Aku tak tampak?
Tuhan
di mana aku mencari Mu?
Apakah selama ini Aku menghilang?
tanyakan pada ruang hati mu
Apakah kau memujaku hanya karena kau konsepsikan sendiri. Bukankan hal itu sama dengan kafir, kata Hujwiri.
Kau tak perlu susah, resah dan gelisah karena Aku menyusahkanmu.
Kau cukup hayati dzatKu. Ia tersebar memenuhi jagat ini. Bainal arsy wal maghrib.
Jika kau kehilangan Ku niscaya bukan Aku yang pergi tapi kau yang lari.
Jika ku tak mengetahuiKu niscaya bukan Aku yang menghilang tapi kau yang tak mengerti.
Padahal aku tak ke mana. Sekali lagi, tanyalah ke ruang hatimu
Layang-layang Kehidupan
Aku melihat anak-anak riang gembira
menggembalakan layangannya ke atas langit
menerbangkan setiap cita dan harapan.
Seraya berkata:
Semua telah menjadi beton, bumi semakin sempit, kembalikan tanah kami.
Mereka seketika bermuram durja
Seolah-olah angin menghembuskan kebencian kepada para manusia gurita itu agar mereka berhenti mencaplok tanah kami.
Bola-bola yang leluasa ditendang kini berubah ketakutan. Mereka khawatir dengan kaca rumah yang mengelilingi lapangan, juga takut mengenai pengendara yang lalu lalang di pinggir jalan.
Kami bingung setiap layangan terbang membawa harapan seketika itu juga harapan itu sirna. Benangnya terputus dihempas gelombang ketidakpastian. Hidup kita menjadi terombang-ambing. Lalu kemana lagi kita mengadu.
Tanah yang luas itu kini menyempit. Sawah-sawah berubah perumahan elit yang ekslusif. Hingga layangan kami malu dengan siapa mereka bertamu. Untuk sekadar menyapa pun akhirnya tak mau. Dunia memang cepat berubah.
Kawan, apakah ini yang disebut globalisasi. Suatu fase waktu cepat dan memisahkan pertemanan kita.
Mari kita atur lagi pertemanan kita yang hangat seperti dulu. Biarlah layangan itu pergi asal bayangan kita abadi.
Stasiun
Di saat aku pergi desing suara lonceng mengakhiri pertemuan kita.
Padahal rasa begitu sendu tapi aku mencoba menahannya.
Aku menyadari bahwa pergi adalah pelajaran tentang pulang lagi.
Di saat aku pulang desing suara sirine datang lagi, menyambut dengan rindu.
Harumnya pertemuan begitu terasa bahkan bercampur haru.
Aku pun menyadari bahwa stasiun membawaku pergi dan kembali.
Persimpangan Jalan
Di persimpangan jalan Aku menunggu engkau pulang dari mengaji
Dikenakanya pakaian serba putih dengan balutan kain bermotif bunga membungkus diri mu nan sederhana
Sambil memeluk kitab kau senandungkan shalawat
Ku lihat pemandangan itu nampak begitu sejuk
Keesokan harinya Aku berdiam di antara persimpangan jalan
Ku tunggui engkau tapi tak kunjung datang
Kemana engkau pergi, apakah kau berbalik arah
Aku hanya mendengar saut-saut lantunan shalawat membuai merdu
Tapi engkau yang putih jernih itu tak juga nampak
Aku mulai gusar melihat penyejuk hati pergi entah kemana
Setangkai doa telah ku petik menebarkan salamku kepadanya
Hari semakin aneh, persimpangan jalan semakin bising
Kabut tebal dan asap kendaraan memalingkan penglihatan ku
Aku bertanya di mana sang merpati yang memberi kabar itu
Aku bergumam di mana engkau yang selalu hadir di sini
Ahh, entahlah aku hanya bayang-bayang
Persimpangan jalan di sanalah aku meninggalkan kenangan kecil berupa serbuk kerinduan
Ia akan terus tersemai, bersemi bersama engkau yang selalu memeluk kitab dengan balutan pakaian putih berhati salju
Aku merindumu.
the woks institute l rumah peradaban 3/1/20
Komentar
Posting Komentar