Langsung ke konten utama

Mengenang Sang Intelektual Organik




Oleh : Woko Utoro

Siapa yang tidak kenal dengan Prof Azumardy Azra. Sang begawan Islam Indonesia dan guru bangsa yang banyak dikagumi baik di dalam maupun luar negeri. Namanya sulit untuk dilupakan terlebih jika menyebut sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Karya disertasinya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII mengabadi. Semua orang yang ingin mempelajari sejarah Islam di Nusantara pastinya harus wajib membaca karya disertasinya.

Prof Azumardy Azra adalah seorang guru besar sejarah Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia wafat pada Minggu 18 September 2022 di RS Serdang Selangor Malaysia. Kemangkatanya di usia 67 tahun tak lain sesuai laku hidupnya yaitu untuk ilmu. Ia berpulang setelah mendapat perawatan dan sebenarnya ia akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar internasional Persidangan Antarbangsa Kosmopolitan Islam, yang diselenggarakan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM).

Azumardy Azra atau orang memanggilnya Buya Edi merupakan putra daerah Minang asli tepatnya kelahiran Lubuk Alung Padang Pariaman Sumatera Barat 4 Maret 1955. Ayah dan ibunya merupakan seorang yang mencintai ilmu sehingga pantaslah kecintaannya pada ilmu menitis dari orang tuanya. Seperti umumnya tradisi orang Minang beliau pun merantau. Tapi uniknya ia merantau tidak untuk keperluan bisnis melainkan akademik. Dan Jakarta lah tujuan utamanya.

Dengan segala macam mental baja dan kegigihannya Buya Edi tidak hanya mampu menaklukkan Jakarta melainkan sampai Amerika. Bahkan ketika ia dikenal luas sebagai penulis produktif, pembaca kritis dan pembicara progresif Buya Edi berkeliling dunia untuk mengkampanyekan bahwa ada Islam ramah di luar Islam Arab yang orang ketahui. Oleh banyak kalangan Buya Edi memang disebut sebagai juru bicara Islam Indonesia. Tanpa kehadirannya mungkin Islam Indonesia tidak seperti kita kenal saat ini. Maka dari itu tidak salah jika Ratu Elisabeth dari Inggris memberikan pengakuan sekaligus gelar kehormatan Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE). 

Sebelum istilah Islam Nusantara populer oleh Nor Huda (2007) dan KH Said Aqil Siradj pada Muktamar NU ke-33 di Jombang (2015) Buya Edi telah banyak menyinggung tipologi Islam Nusantara tersebut dalam karya disertasinya. Seperti halnya KH Hasyim Muzadi, Buya Edi pun menuturkan bahwa untuk mengenalkan Islam yang ramah ini perlu adanya pengarusutamaan atau sering menjadi topik perbincangan. Dengan begitu Islam dapat dikenal karena seperti Buya Edi katakan bahwa Islam di Indonesia itu tidak eksklusif tapi unik. Bahkan Kuntowijoyo tidak segan menaruh optimisme bahwa peradaban Islam akan lahir dari Indonesia.

Buya Edi yang juga ketua dewan pers Nasional 2022-2025 tentunya banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Ia sosok yang rendah hati kendati gelar dan jabatan mentereng diembannya. Buya Edi sosok organisatoris sekaligus mengayomi. Ia sosok yang rakus akan bacaan maka tidak salah jika semakin banyak pengetahuan semakin besar pula toleransinya pada keragaman. Buya Edi sosok yang low profile dan mudah bergaul dengan siapa saja. Ia sosok yang produktif dalam menulis bahkan tulisannya selalu ditunggu pembacanya. Ia sosok pembelajar sejati dan diusia senjanya tak sedikitpun kendor dalam dunia intelektual. Ia sosok yang zahid selalu kritis terhadap ketimpangan sosial di masyarakat. Ia memang percis seperti pendahulunya yaitu Bung Hatta, KH Agus Salim, Muh Yamin, Hamka yang hidup sederhana, visioner dan pastinya berjuang untuk bangsa.

Selamat jalan Buya Edi, dikau berpulang kami mengenang. Husnul khatimah, al fatihah.

Rangkaian tulisan di atas telah terangkum lewat 31 tulisan para sahabat dalam buku Sang Intelektual Organik Yang Rendah Hati terbitan Satu Pena Press, Jakarta Selatan 2022.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/2/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...