Langsung ke konten utama

Proses Pencarian Kota Tua dalam Wujud Kedirian




Woks

Dalam disiplin ilmu psikologi mencintai diri sendiri merupakan kewajiban. Betapa berharganya diri sendiri sampai-sampai kecenderungan biofil harus dipupuk dengan baik. Mencintai diri sendiri berarti mencintai hidup. Karena di era kekinian masih banyak orang kecewa dengan dirinya sendiri. Sudah berapa banyak kita disuguhkan kasus bunuh diri. Padahal Tuhan telah memberikan anugerah terbesar yaitu akal pikiran. Lewat akal itulah manusia lebih bernilai dari mahluk lainnya.

Perihal diri memang suatu hal yang tak pernah usai. Dalam keilmuan tasawuf diri sejati tak akan bisa ditemukan jika tanpa adanya bimbingan guru. Karena jika seseorang telah menemukan dirinya maka ia menemukan siapa Tuhannya. Lain lagi dengan disiplin ilmu filsafat manusia diibaratkan kota tua yang hilang dan sebelumnya pernah ada. Kota tua itulah yang disebut sebagai kedirian. Sebuah makna mendalam yang mengajak kita berpikir apakah diri ini nama misalnya Paijo, jasad, ruh atau siapa. Di sanalah proses pencarian terus dilakukan.

Irfan Afifi si pendiri Langgar itu bahkan dengan jujur mengungkapkan dalam bukunya apakah ia seorang muslim Jawa atau orang Jawa kebetulan sebagai muslim. Kegamangan itulah yang akhirnya membawanya mencari perihal siapa dirinnya yang asli. Ia melacak siapa dirinya dengan membuka ingatan tentang jejak leluhur. Kita juga ingat betapa gigihnya Muhammad Yaser Arafat atas pencarian makam leluhur dan ternyata ia bagian dari cucu Ki Ageng Selo.

Jika ditarik ke dunia modern masih adakah orang yang peduli dengan kedirianya. Masih pentingkah posisi diri bagi kelangsungan hidup. Jika diri ini tengah jauh mengapa tidak kunjung dipanggil agar ia datang. Jika diri ini hilang mengapa tak kunjung dicari lalu ditemukan. Sebenarnya diri ini tak kemana-mana ia begitu dekat. Bahkan kata Ebiet G Ade, Tuhan begitu dekat dan mengalir di dalam darah. Diri bercampur baur dengan kehendak dan romantis bersama bayangan. Jika bayangan saja sudah tak sudi bersama berarti diri telah mati. Begitulah siklus alami hidup bahwa jika berpisahnya ruh dan jasad kematian tak bisa dielakan lagi. Tapi walaupun ia sebenarnya hidup kembali dalam rupa dan alam yang berbeda.

Diri sebenarnya identitas sepanjang hayat yang harus dipelajari. Orang Jawa bahkan tak segan-segan merawatnya dengan ragam falsafah hidup, misalnya yang terkenal adalah urip mung mampir ngombe (hidup hanya numpang minum). Bermakna bahwa hidup ini singkat maka kenalilah diri. Atau lebih mendalam lagi sangkan paraning dumadi, sebuah pemaknaan esensial tentang dari mana muasal, hendak apa dan akan kemana setelah ini. Dengan begitu manusia Jawa utuh untuk terus mengupgrade perihal kedirian. Sebab semakin ke sini zaman justru makin menenggelamkan. Diri sulit ditemukan dan digantikan oleh alat-alat yang bersifat elektrolis.

Saat ini jangankan mencintai diri sendiri. Alih-alih ingin bahagia kita justru memilih menjadi orang lain. Berapa banyak para pekerja yang justru tidak menikmati hasil kerjanya. Berapa banyak orang menumpuk investasi yang pada akhirnya tak membuatnya bahagia. Diri dan kebahagiaan sebenarnya satu paket komplit yang sayang sekali kita tak kunjung peka memeluknya. Kita justru abai bahkan semakin acuh dan ditekan oleh kondisi zaman. Mari mencari diri, temukan lalu cintai.[]

the woks institute l rumah peradaban 10/2/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...