Langsung ke konten utama

Jodoh Dan Logika Rasionalistik




Woks

Kita mungkin tahu serial drama Jodoh Wasiat Bapak di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Sebuah sinetron yang entah ke mana muaranya. Yang jelas jika bicara jodoh akan selalu menarik untuk dibahas. Salah satunya ketika kita bertemu dengan orang rasional yang selalu mengedepankan perdebatan.

Jodoh seperti yang sudah diketahui merupakan suatu keadaan di mana seseorang tidak mampu menebaknya. Seseorang hanya bisa menerka dari hal-hal yang pernah terjadi. Hal itu pun bahkan lebih sering banyak melesetnya. Demikianlah jodoh menarik dan unik bisa diprediksi tapi tidak bisa disimpulkan.

Tapi kaum rasionalis percaya bahwa jodoh adalah soal kesamaan. Misalnya mereka selalu yakin akan kesamaan visi misi, penghasilan sampai strata sosial. Padahal di luar itu semua jodoh malah justru terjadi. Jodoh justru seperti sebuah pasang puzzle yang tidak beraturan akan tetapi sesuai dengan pola tempatnya. Maka dari itu perbedaan dalam jodoh justru letak persamaannya. Begitulah jodoh lebih bersifat irasional namun sejatinya paling rasional.

Di beberapa kesempatan saya menyaksikan betapa banyak orang kesulitan perihal jodoh. Akhirnya mereka berkonsultasi untuk mencari jalan keluarnya. Menurut Gus Iqdam perihal jodoh itu santai saja jika sudah tiba waktunya akan tiba sendiri. Untuk mendapatkannya kita hanya perlu nyelehke alias berpasrah. Karena bagaimanapun juga jodoh tidak bisa dipercepat diperlambat, segera atau nanti. Intinya semua memiliki potensi yang sama. Karena bagaimanapun jodoh merupakan sesuatu yang pasti seperti halnya kematian.

Kadang justru jodoh itu seperti domino tak bisa ditebak bisa saja masih saudara sendiri, orang dekat, belum dikenal, tidak terpikirkan sebelumnya dan faktor x lainnya. Demikianlah maka tidak usah merasa kecil hati persoalan jodoh. Bahkan yang sudah berjodohpun masih memiliki limit alias berbatas. Maka dari itu terpenting adalah tidak usah merasa tertinggal soal jodoh karena hidup bukan kompetisi melainkan bagaimana agar kita tetap konsisten dalam kebaikan.

Terakhir, jadi kapan jodoh akan tiba? yang jelas ketika dirimu telah siap bukan sekedar ingin. Seperti apa pula jodoh tersebut? intinya bukan soal baik buruk, cantik tampan melainkan akan disesuaikan dengan cerminan diri. Kita sangat mudah untuk menebaknya tapi sekali lagi hal itu hanya bersifat prediktif, hanya hipotesa bukan diagnosa alias kesimpulan.[]

the woks institute l rumah peradaban 6/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...