Langsung ke konten utama

Teologi Keselamatan




Woks

Saat di kelas saya ingat pesan KH Hafidz Baehaqi beberapa bulan menjelang beliau wafat. Pesan beliau adalah, "Wong urip iku golati slamet"(orang hidup itu mencari keselamatan). Dari pesan singkat beliau tersebut terselip hikmah, benar juga jika tidak keselamatan lantas apalagi yang dicari, kebahagiaan?

Jika kebahagiaan lantas bahagia yang mana dan seperti apa. Nyatanya kebahagiaan versi manusia belum tentu dapat menyelamatkan. Malah kebanyakan karena angan-angan kebahagiaan justru melenakan dan menjerumuskan. Orang bahkan tidak menikmati hasil kerjanya sendiri jika hal itu disebut kebahagiaan. Lantas apakah masih yakin bahwa letak bahagia itu ada pada kepemilikan harta, wanita atau posisi jabatan. Sesungguhnya kebahagiaan versi manusia sangatlah materiil dan mudah dibeli.

Sebenarnya jika ingin tahu bahwa salah satu titik kebahagiaan adalah keselamatan. Hampir tiap hari kita diajari melafalkan do'a sapu jagat tak lain berharap agar selamat di dunia dan akhirat. Keselamatan memang mahal harganya sampai-sampai dalam tradisi suluk seorang murid meminta jaminan mursyidnya. Keselamatan juga dicirikan dengan lafal salam, اَلسَّÙ„َامُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØ­ْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَا تُÙ‡ُ yang memiliki arti "Semoga Allah melimpahkan keselamatan, rahmat, dan keberkahan untukmu." Dari lafal salam tersebut tergambar jelas dua dimensi di mana secara duniawi dan ukhrawi manusia berharap keselamatan dariNya. Maka tidak salah jika Nabi Muhammad SAW mencirikan ahli surga dengan orang yang selalu memberi salam.

Dalam konteks menjadi siswa pun seharusnya mereka berpikir selamat. Selamat dalam arti mengikuti rel, garis edar, menurut petunjuk guru dan jika peraturan dilanggar berarti ia tengah keluar dari zona selamat. Mengapa Kan'an dan ibunya tidak selamat dari banjir air bah Nabi Nuh, karena mereka telah melanggar ucapan dan peringatan dari utusannya. Maka dari itu bahwa bencana justru turun bukan karena banyak orang menyekutukannya melainkan menyakiti kekasihnya. Demikian sederhananya bahwa keselamatan bisa dilihat dari seberapa patuh dan menghambanya pada ketetapan, agama menyebutkannya takdir. Orang yang menerima takdir dan menjalani kehidupan dengan ikhlas insyaallah akan selamat.

Keselamatan tidak bersifat individualistik alias mau selamat sendiri. Keselamatan bersifat komunal dan harus atas sekalian mahluk. Kita diajarkan untuk solidaritas saling mengingatkan dan urusan hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT. Keselamatan berarti menjadi hamba sedekat mungkin dengan Allah SWT. Sebagai penutup, Nabi Sulaiman kaya dengan ilmunya, Qorun kaya dengan nafsunya tapi mengapa Nabi Muhammad SAW tidak ingin kaya padahal beliau manusia mulia. Karena bagi Nabi Muhammad SAW kekayaan dan kemuliaan adalah ketika kita menjadi kekasihNya. Karena dengan menjadi kekasinya kita akan selamat dan diselamatkan.[]

the woks institute l rumah peradaban 30/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...