Langsung ke konten utama

Kupatan : Dari Tradisi Filosofis ke Tradisi Formalis




Woks

Beberapa waktu kami pernah berziarah dengan tujuan Pacitan, Ponorogo dan Trenggalek sekitarnya. Singkat kisah dalam perjalanan pulang kami mendapati hal mistis ketika di makam Mbah Mesir Durenan. Kata Abah di antaranya banyak makam yang dikunjungi di sinilah hal ghaib sangat terasa. Salah satu faktornya adalah karena di areal makam ini masih terasa keasriannya. Berbeda ketika kita di makam Mbah Hasan Besari Tegalsari Ponorogo.

Di makam Mbah Hasan Besari berbeda seperti dulu, apalagi di malam Jum'at suasana begitu ramai. Suasana yang wingit mendadak seperti intertainment dan dipenuhi sesak orang. Walaupun kita akui bahwa hal yang bersifat batiniah tidak peduli ramai sepi. Hal yang bersifat ruhani selalu bebas ruang akan tetapi sangat jelas perbedaannya ketika formalisme berjalan.

Tidak hanya soal makam dan ziarah, formalisme juga merambah ke tradisi lain misalnya kupatan. Tradisi kupatan yang dulu dilakukan oleh sanak keluarga dan tetangga tersebut kini justru berkembang pesat. Kupatan yang awalnya sangat eksklusif kini justru merambah ke manapun. Bahkan orang yang tidak memiliki ikatan sejarah dengan tradisi ini pun turut gegap gempita. Kini tradisi kupatan sudah ada di mana-mana. Bahkan tidak hanya teras depan rumah, sepanjang jalan dan lapangan pun bisa penuh sesak karena tradisi ini.

Perkembangan kupatan pun semakin semarak. Terlebih dengan adanya kupon hadiah, hiburan orkes, kembang api, mercon, hingga penampilan kesenian membuat kupatan tidak hanya sekadar tasyakuran biasa. Kupatan kini menjelma panggung hiburan besar, festival hingga perayaan makan se desa. Kupatan tidak lagi dimaknai "ngaku lepat" seperti diawal kemunculannya. Kini justru menjelma hiburan syarat akan nuansa hura-hura. Di sinilah terdapat pergeseran makna akibat formalisme berlebihan.

Di manapun juga ketika sesuatu hal sudah menjadi bagian formalisme maka kita akan kehilangan akar sejarahnya. Tidak hanya kupatan bahkan agama sekalipun jika diformalisasikan dengan negara maka yang ada akan kehilangan ruhnya dan ini selalu ditentang oleh Gus Dur dan Cak Nur. Bagi kedua beliau agama tidak usah diformalkan, cukuplah agama sebagai inti orang beragama, sebagai ide kreatif, sebagai sumber inspirasi. Sehingga dengan begitu tidak ada orang berani menggunakan agama sekehendak hatinya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Di sinilah peta jalan bersama bahwa kita harus lebih menekankan isi daripada kulit. Menekankan esensi daripada sekadar cangkang. Menghayati makna filosofis warisan Mbah Sunan Kalijaga tersebut. Dengan begitu seperti dawuh Sayyidina Ali jangan sampai hari nan fitri dikotori lagi pasca Ramadhan dengan hedonisme hiburan. Bahwa hari raya, hari kemenangan esensinya bukan pada pakaian dan makanan akan tetapi peningkatan kebaikan serta ketaqwaan.

"Mangan kupat nganggo santen. Menawi lepat, nyuwun pangapunten".

the woks institute l rumah peradaban 29/4/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...