Langsung ke konten utama

Berkhidmah Pada Dosen (2)




Woks

Dosen adalah pejabat struktural maupun fungsional di sebuah perguruan tinggi. Kedudukannya sama dengan ustadz kiai di pesantren atau dewan guru di sekolah formal. Bedanya mereka mengabdi pada jenjang tertinggi dalam sistem pendidikan formal. Sedangkan ustadz kiai sebenarnya bukan jabatan baik dalam struktur non formal. Jadi baik dosen maupun ustadz kiai atau sebutan lainnya mereka adalah guru-pendidik.

Urusan penghormatan baik dosen maupun kiai adalah sama, tiada beda. Dosen hanya sebuah jabatan dan hakikatnya sama. Tapi tentu berbeda dengan kiai, ia adalah jabatan sekaligus sebutan kultural yang diakui oleh masyarakat. Jika bicara tentang khidmah tentu pada dosen pun tak ada bedanya. Dosen juga memiliki porsi yang sama dalam mengajarkan ilmu walaupun mungkin tidak 24 jam. Akan tetapi siapa yang berani membedakan pada sosok pembimbing ilmu. Rasanya tidak ada.

Bagi saya sekali lagi berkhidmah pada dosen sama berkahnya. Kadang saya justru mendapat banyak teladan dari dosen terutama yang hatinya ikhlas, teladannya pantas dan sikapnya yang welas. Tentu kita tahu bahwa bagaimanapun juga dosen adalah manusia biasa. Sehingga dari kekurangan dan kelebihannya kita diajak untuk terus belajar. Pembelajaran tersebut bisa dari mana saja misalnya ketika disuruh membelikan rokok, atau membantu dalam penelitian lapangan.

Hal yang sangat saya sukai ketika khidmah di salah seorang dosen adalah saat mendapatkan pengalaman hidup. Biasanya beliau berkisah tentang kehidupannya dulu di kampung halaman. Selain itu cara mendidik anak-anak juga tak kalah pentingnya untuk saya amati. Setidaknya dari dua hal itu saya mendapat ilmu berharga akan kesederhanaan, perjuangan dan cita-cita pengabdian. Selanjutnya betapapun sibuknya dalam urusan akademik kampus dosen juga menjelma sosok bapak yang peduli dan atau sosok ibu yang penuh kasih.

Saya meyakini perkhidmatan ini tak akan sia-sia dan pastinya terdapat keberkahan. Walaupun mungkin keberkahan memiliki kadarnya tersendiri. Yang terpenting bahwa berkah adalah bertambahnya kebaikan. Jika kita sering berkumpul dengan orang berilmu maka bertambahnya kebaikan sangat mungkin. Satu hal yang selalu saya ingat ketika main ke rumah dosen di sana pasti terdapat buku.

Buku berjajar di antara rak-rak, lemari kaca hingga dinding jendela. Itu tanda bahwa masyarakat pembelajar memang selalu dekat dengan buku. Buku menjadi hal paling identik. Maka dari itu saya paling senang jika disuruh bersih-bersih, membereskan buku. Sesekali membersihkan sekaligus membacanya. Lalu menghafal poin-poin penting di sana. Sungguh perkhidmatan ini janganlah cepat berlalu. Buku, dosen dan ilmu satu paket komplit yang jangan segera berlalu.

the woks institute l rumah peradaban 26/4/23



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...