Woks
"Memaafkan tidak dapat mengubah masa lalu tetapi, memberi ruang besar bagi masa depan" - KH. Abdurrahman Wahid.
Alhamdulillah kita berjumpa lagi dengan bulan Syawal. Bulan yang isinya tentang maaf dan memaafkan. Kendati harusnya maaf tidak dimonopoli di bulan Syawal akan tetapi pasca Ramadhan dalam tradisi kita saling memaafkan adalah esensi utama. Halal bihalal orang lebih sering mengistilahkan kata maaf tersebut. Kata lain bulan Syawal adalah puncak orang saling memaafkan atas segala khilaf dan dosa.
Sejak dulu orang memang lebih sering malu untuk meminta maaf. Orang terlalu gengsi dengan kata maaf tersebut. Untung saja para sesepuh kita mewariskan ajaran luar biasa hasil dari sari pati Qur'an dan hadits nabi yaitu memberi maaf. Di sinilah esensi sesungguhnya bahwa meminta dan memberi maaf merupakan akhlak mulia. Tentu saja bobot orang memberi maaf lebih besar ketimbang meminta maaf. Maka jelaslah bahwa si pemberi maaf hatinya harus seluas samudra.
Gus Baha sang mufasir faqih muda dari Rembang sering menjelaskan arti maaf dalam beberapa pengajiannya. Kata beliau agar maaf benar-benar dihayati sebagai ajaran luhur maka orang harus tahu akan value nya. Yaitu bagaimana kata maaf bernilai transenden alias hanya kepada Allah lah alasan utamanya. Misalnya ketika seseorang disakiti mampukah ia memberikan maaf pada pelaku pesakitan tersebut. Rerata hukum sosial tidak berkata dengan mudah untuk segera memaafkan. Akan tetapi jika tujuannya Allah maka tak ada alasan untuk tidak memaafkan. Walaupun untuk ukuran kita hal itu merupakan perkara yang tidak ringan.
Maaf adalah sifat Allah yaitu maha pemaaf, al ghafar, al afuwwu, ar rauf. Jadi barangsiapa hatinya pemaaf maka ia adalah hamba yang tengah memakai akhlak Allah. Dalam hal ini tentu sudah diteladankan oleh junjungan kita Rasulullah Muhammad Saw betapa beliau sang khuluq al adhim. Beliau baginda nabi sering disakiti oleh kaum Quraisy dan salah satu cerita terkenal yaitu betapa malaikat sangat kesal karena nabi masih memberikan maaf pada penduduk Thaif atau kisah Wahsyi bin Harb si pembunuh paman nabi Hamzah bin Abdul Muthalib.
Di sinilah kita lihat betapa maaf itu harus bertumpu berdasarkan ilmu. Jika berdasarkan ilmu maka kata maaf meluncur bijaksana bukan kebutuhan pasar ala teori sosial. Mentalitas memaafkan memang selalu berbanding lurus dengan mental memberi. Maka dari itu kata Gus Baha dalam konteks lebih luas bangsa ini harus terus belajar akan arti memberi bukan meminta. Dengan begitu bangsa kita akan mudah memaafkan daripada sibuk membenci.
Terakhir ada kisah yang diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal bahwa di akhirat kelak akan disediakan mimbar untuk orang berpidato. Dan kita tahu bahwa yang bisa berdiri di mimbar tersebut hanya mereka yang pernah memiliki reputasi memaafkan. Maafkanlah dan jadilah samudera.[]
Referensi : Risalah Qusyairiyah, Ihya Ulumuddin, Huquqil Musthofa, Ash Syifa.
the woks institute l rumah peradaban 24/4/23
Uraian yang mantap
BalasHapus