Langsung ke konten utama

Catatan Yudisium Pascasarjana ke-28 UIN SATU Tulungagung





Woko Utoro


Tidak terasa perjalanan 2 tahun kuliah magister akan berakhir. Kemarin saya berkesempatan mengikuti yudisium ke-28 atau wisuda ke-37. Rasanya setengah tidak percaya tapi inilah kenyataan. Bahkan saya dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik di jurusan Studi Islam dengan IPK 3,85. Inilah yang sebenarnya membuat saya berat sekaligus selalu dihindari.


Entah seperti apa bagi saya acara seremonial selalu membuat minder. Tapi apalah daya semua harus disyukuri dan mungkin shql itu sebagai modal menatap masa depan. Singkat nya saya hanya ingin menulis beberapa poin penting hasil yudisium kemarin. Pertama, Pak Rektor Maftukhin memberikan gambaran pada lulusan magister maupun doktoral bahwa kita harus memiliki kemampuan dalam bidang Writing, Reading, Listening, Speaking atau salah satunya. Karena keahlian tersebut akan membuat kita menjadi, spesialis hingga sub spesialis. Beliau lalu membaca surah Al Kahfi (109) :


قُل لَّوْ كَانَ ٱلْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَٰتِ رَبِّى لَنَفِدَ ٱلْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَٰتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِۦ مَدَدًا

Kata beliau ilmu berputar terus, ilmu itu dinamis. Maka dari itu teruslah mengasah diri. Termasuk yang diperoleh di kampus adalah bagian dari pembekalan setelah itu pengembangannya yang lebih penting. Jangan lupa para alumni harus adaptif terhadap perkembangan zaman.


Selanjutnya adalah orasi atau pesan-pesan dari Prof Dr Amin Suyitno yang merupakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. Kata beliau alumni pascasarjana tidak hanya dilihat secara kuantifikasi tapi lebih penting yaitu kualifikasi. Kita juga harus mengetahui minimal strata satu dan magister ada bedanya. Beliau menjelaskan bahwa S1 harus mengetahui: fenomena, gejala, arrajulu yataalamu saian. S2 tahkiq, komparasi, banding, posisi, arrajulu yatahaqqaqu saian. Sedangkan S3 sudah di level penemuan dan kontribusi nyata terhadap ilmu serta masyarakat.


Prof Suyitno yang asli Kalidawir itu juga menjelaskan terutama di era kontestasi politik kita harus sadar bahwa peran kita hanya sebagai seorang penonton. Maka dari itu penonton jangan seperti pemain yang ikut main atau kelahi dengan sesama penonton. Kita tak akan mendapatkan apapun dari pertarungan politik tersebut. Sehingga pemilu bagaikan main bola yang di sana terdapat politik supporter hingga mafia.


Terakhir beliau mengatakan bahwa kampus harus adaptif. Kampus harus mampu merespon dan peka terhadap perubahan. Kampus: harus menyediakan jurusan berbasis vokasi dan kesarjanaan. Sehingga dengan begitu adaptasi alumninya mampu menjawab kebutuhan zaman. Terpenting adalah mahasiswa harus memiliki kompetensi atau skill individu sebagai modal melangkah.[]


the woks institute l rumah peradaban 7/9/23


Dokumentasi foto :










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...