Langsung ke konten utama

Inspirasi Menulis ala Tere Liye




Woko Utoro

Siapa yang tak kenal dengan Tere Liye. Seorang novelis yang produktif itu jarang orang tidak mengenalinya. Terlebih melewatkan karya-karya Tere Liye merupakan sebuah kerugian. Karya-karya seperti Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Negeri Para Bedebah, Bumi, Pulang, Rindu, Bulan, Matahari, Hafalan Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah, Tentang Kamu dll adalah bukti bahwa penulis bernama Darwis itu sosok yang produktif.

Menurut beberapa sumber Tere Liye tidak kurang telah menerbitkan 50 judul buku. Yang beberapa karyanya tentu sudah diangkat ke layar lebar. Dari sanalah akhirnya orang merasa perlu untuk mengundangnya untuk berkisah seputar proses kreatif dalam menulis. Orang merasa perlu mendengarkan langsung apa dan bagaimana caranya menulis sehingga mampu produktif. Memang benar bahwa rasanya setiap orang bisa saja menjadi penulis tapi tidak semua orang mampu produktif.

Di beberapa kesempatan secara pribadi saya pernah mendengar alasan sekaligus tips mengapa Tere Liye menulis melalui video yang beredar di YouTube. Bagi Tere Liye alasan mengapa iya menulis adalah berawal dari kisah persahabatan Pohon Kelapa, Kura-kura dan Burung Pipit. Suatu hari 3 sahabat itu berkawan dan berpisah lamanya 3 tahun. Singkat kisah mereka pun bertemu kembali dan saling berbagi kisah.

Burung Pipit berkisah bahwa selama 3 tahun tersebut ia terbang melewati berbagai pengalaman. Ia telah melewati luasnya benua, melintasi samudera, gurun hingga melihat tingginya gunung. Keindahan alam dapat dipotret lewat ketinggian. Dari cerita itu 2 sahabatnya merasa terpukau karena dia mampu melewati banyak hal indah. Hampir sama dengan Burung Pipit, sang Kura-kura pun demikian. Bahwa ia telah menyusuri dalamnya samudera.

Kata Kura-kura ia melihat berbagai kekayaan yang ada di dasar laut. Kehidupan penuh dengan anemon serta warna-warni ikan-ikan juga ia temui. Ia melintasi selat, benua hingga samudera lepas yang begitu dingin. Intinya kedalaman bisa dipotret melalui perjalanan penyelaman. Ini lebih canggih dan memukau kata 2 sahabatnya. Berbeda dari keduanya, sang Pohon Kelapa hanya terdiam. Akan tetapi ketika ia dipaksa bercerita mungkin 2 sahabatnya mengira sang Pohon Kelapa tak akan memiliki pengalaman seindah keduanya. Karena sang Pohon Kelapa tidak bisa menyelam apalagi terbang.

Di luar dugaan ternyata sang Pohon Kelapa berkisah. Mungkin ia tidak mampu beranjak seperti 2 sahabatnya hingga menemukan keindahan tersebut. Tapi percayalah bahwa mereka harus tahu jika di ujung samudera, di tepi pantai bisa jadi ada pohon kepala yang cikal bakalnya berasal dari tubuhnya. Dua sahabatnya harus tahu sangat mungkin bahwa di ujung selat, di atas perbukitan atau di seberang jalan ada pohon kelapa yang berdiri kokoh tak lain berasal dari dirinya. Atau bahkan jika ada pohon kelapa di planet bahkan di surga tak lain karena terlempar dari tubuhnya.

Dari kisah tersebut akhirnya sang Burung Pipit dan Kura-kura merasa terkesima. Inti dari cerita tersebut bahwa Tere Liye ingin mengajak bahwa profesi menulis itu luar biasa. Aktivitas menulis bisa saja hanya berdiam seperti pohon kelapa akan tetapi buahnya sudah sampai ke mana-mana. Dalam proses menulis ada imajinasi, kreativitas hingga mengerahkan segala daya pikir yang ternyata dampaknya luar biasa. Tulisan yang dihasilkan memang mampu menumbuhkan cikal bakal lain di ujung dunia. Lewat tulisan segala macam gagasan bisa disemai.

Maka dari itu Tere Liye memiliki tujuan bahwa dengan menulis ia dapat menginspirasi, berbagi, berkarya, ingin dikenal, bisa keliling dunia hingga mendapatkan profit. Sedangkan tips menulis dari Tere Liye hampir sama dengan penulis lain yaitu mulailah menulis sekarang juga. Tulislah dari hal-hal sederhana, apa yang dilihat atau dirasakan. Perbanyaklah membaca dan Tere Liye memberikan jurus bahwa penulis yang baik selalu menemukan sudut pandang yang spesial. Asah terus kemampuan yang langka tersebut.[]

the woks institute l rumah peradaban 2/9/23


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...