Langsung ke konten utama

Jangan Kehabisan Bensin Menulis




Woko Utoro

Kita pernah mogok di jalan dalam berkendara. Barangkali kisah mogok di jalan hampir tiap orang mengalaminya. Mungkin sudah tidak terhitung berapa jumlahnya. Yang jelas problem berkendara tidak akan jauh dengan kehabisan bensin, ban bocor, mesin rusak hingga kena tilang.

Dalam hal menulis juga hampir mirip seperti berkendara. Seorang penulis pasti memiliki pengalaman terkait mogok atau sering ditemui yaitu stug, mandeg jegrek, sampai absen lama tidak menulis. Faktor mengapa tidak menulis bisa saja malas mengantui, kesibukan, kehabisan ide, disorientasi hingga kehilangan motivasi. Kesemua faktor tersebut saya sebut sebagai kehabisan bensin atau bahan bakar. Lantas bagaimana dengan sakit?

Sakit itu sudah berbeda konteks. Nyatanya banyak orang sakit atau bahkan disabilitas masih sempat untuk menulis. Jadi benar banyak tutor menyebutkan bahwa menulis itu tidak ada alasan. Justru alasan utama menulis adalah soal pengelolaan baik waktu, motivasi maupun kemauan. Demikianlah menulis, satu dari sekian tradisi unik yang perlu dibangun lalu dirutinkan. Tanpa bangunan bacaan yang kokoh serta habituasi harian maka tulisan tak akan selesai. Bukankah Prof Ngainun Naim sering mengatakan bahwa, "Jika ingin menjadi penulis maka menulislah terus". Jika ingin menjadi penulis tak ada cara lain selain mencoba, memulai, belajar dan terus berlatih.

Menulis itu pekerjaan pembiasaan. Menulis itu bukan given atau hereditas yang diturunkan sejak lahir. Faktannya Cak Nur, Cak Nun hingga Prof Quraish Shihab putra-putrinya tidak meneruskan tradisi menulis dari orang tuanya. Ibarat motor mereka melaju sesuai minatnya tersendiri. Bicara minat jika menulis sudah membudaya terlebih menjadi passion pasti tradisi tersebut akan terus digeluti. Seberapapun sibuknya seorang maniak menulis akan menyempatkan waktu di kesunyian. Mereka akan tetap menulis sekalipun waktu tidak berpihak, meminjam istilah Mr Emcho "Sopo Ora Sibuk".

Kembali ke topik berkendara dan menulis. Biasanya orang yang sudah menjadikan menulis sebagai hobi pasti akan menyelesaikan tulisannya. Bagi yang hobi menulis tradisi ini akan menjadi bagian dari hiburan atau bahkan jalan hidup. Ibarat kendaraan, orang maniak motor akan selalu mempersiapkan diri. Ketika bepergian mereka akan mengecek oli, bensin, kanvas, ban, spion, helm hingga kelengkapan lain seperti surat-surat motor.

Penulis pun demikian. Seharusnya mereka rajin untuk terus belajar, berlatih, membiasakan diri membaca, berdiskusi hingga tampil mem-publish tulisannya. Motivasi, orientasi hingga spirit menulis harus terus dipupuk sejak dini. Dengan serangkaian proses tersebut merupakan cara agar penulis tidak kehabisan bensin. Perlu juga berjejaring dengan misalnya mengikuti kajian kepenulisan, seminar, pelatihan hingga berguru pada ahlinya. Semua hal yang telah disebutkan adalah bagian dari servis atau datang ke bengkel agar kita tahu di mana akar permasalahannya.

Selama ini ide atau inspirasi menulis menjadi problem utama penulis pemula. Padahal bicara ide atau inspirasi di era kekinian sangatlah terhampar bahkan tercecer di mana-mana. Asal kita mau saja semua bisa dipetik dengan sesuka hati. Kita bisa menulis dari hal paling sederhana seperti pengamatan, pengalaman, mendengar ceramah, sampai berselancar di dunia maya. Di era modern yang kaya pengetahuan kita tidak boleh miskin ide. Semua tinggal diakses dengan mudah digenggaman. Tinggal filtrasi dan sikap kritis itu saja yang perlu diasah.

Terakhir saat ini segala macam merk motor bertebaran menyesaki pasar kendaraan. Soal menulis pun sama bahkan dunia literasi sedemikian luasnya. Kita bisa berguru pada siapapun baik buku, atau tokoh. Semua sudah tersedia dan tinggal bertanya kapan akan memulai. Segala macam merk motor boleh saja bertebaran yang terpenting adalah bensinnya. Segala macam metode, resep atau buku menulis tersedia yang terpenting adalah sudahkah kita mencoba menulis. Karena memulai adalah kerja untuk mengikis angan-angan. Cek spido anda. Mari isi bensin.[]

the woks institute l rumah peradaban 20/9/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...