Langsung ke konten utama

Otoritas Religius Panggung Kuasa dan Agama




Oleh : Woko Utoro

Menyimak penjelasan Prof Ajie mengenai otoritas religius sangatlah menarik. Prof Ismail Fajri Alatas atau Prof Ajie adalah seorang antropolog berkebangsaan Indonesia keturunan Arab dan tinggal di Amerika. Ia yang juga suami dari Tsamara Amany menulis sebuah disertasi dengan judul What Religious Authority sekaligus menjadi judul bukunya. Sepertinya versi Indonesianya akan dicetak melalui penerbitan Mizan.

Awal menulis ketika Prof Ajie merasa gamang dengan apa itu otoritas religius. Banyak kalangan menulis mengenai istilah tersebut namun malah membuat Prof Ajie tidak menemukan intisarinya sekaligus membingungkan. Akhirnya beliau beri'tikad untuk menelusuri istilah otoritas religius sampai ke akarnya. Dalam tulisannya Prof Ajie meneliti tentang keulamaan Habib Luthfi bin Yahya dengan segenap aktivitasnya. Dari penelitian itu serta kegamangan para ahli dalam menentukan pengertian beliau juga menyuguhkan pertanyaan apa itu otoritas religius?

Apakah otoritas religius adalah keulamaan atau kewalian. Ternyata menurut Prof Ajie otoritas religius dapat dipahami setidak lewat 3 hal, pertama adalah sebuah relasi. Bukan relasi yang dipahami sebagai kuasa tertentu melain sebuah hubungan yang dibangun oleh sebuah aktor atau kelompok yang menghubungkan masa lalu pada hal yang fundamental. Atau relasi temporal berkaitan dengan waktu masa lalu yang sangat bersejarah. Jika dalam Kristen relasi bersejarah yang terus dijadikan pijakan adalah lahir dan penyaliban Yesus. Jika dalam Islam adalah peristiwa kenabian misalnya kelahiran nabi, hijrah nabi, isra mi'raj dll.

Kedua, kemampuan untuk menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Dalam hal inilah para ulama kita misalnya sejak wali songo telah berhasil menghadirkan masa lalu hingga masa kini. Buktinya adalah banyak perangkat keagamaan yang terus dilestarikan oleh masyarakat yang sebenarnya hal itu terinspirasi dari ajaran nabi. Hal itu pula diperkuat dengan adanya nasab (keluarga), isnad (nasab keilmuan) dan silsilah (persambungan sanad guru). Tidak bisa sembarang orang dapat menghubungkan relasi masa lalu ini ke masa sekarang.

Ketiga, menghadirkan atau mengejawantahkan masa lalu tanpa paksaan. Di sinilah titik poin di mana perbedaan muncul bahwa relasi tersebut berbeda dari sangkaan Foucault tentang relasi kuasa atau kuasa pengetahuan. Atau juga sedikit berbeda dari gagasan Weberian tentang kharisma. Bisa jadi di lain tempat jamaah akan pupus, atau kharisma akan pudar. Maka pantaslah bahwa otoritas terbentuk karena adanya kerja-kerja religius yang terus dibangun. Bahwa kemampuan menghadirkan masa lalu dalam bentuk ajaran dan akhlak tidak setiap orang mampu. Oleh karenanya keterhubungan ilmu dan akhlak akan terus hidup lewat kerja-kerja nyata.

Masalah muncul ketika otoritas ternyata sangat mudah dikonstruk demi kepentingan. Salah satunya sejak lama otoritas religius dibentuk oleh kalangan fuqaha demi melanggengkan kuasa. Maka dari itu jangan terpaku dengan pengertian otoritas yang dibangun oleh kalangan fuqaha terutama pasca wafatnya Imam Syafi'i dan memang seharusnya kita mengetahui fakta di lapangan. Bahwa dulu sunnah masih berpatokan pada sebuah figur atau dalam kata lain otoritas harus orang Arab yang memiliki koneksi pada keluarga nabi. Akan tetapi pasca Imam Syafi'i berfatwa bahwa sunnah adalah teks hadits maka pandangan orang berubah bahwa otoritas boleh tersandar pada non Arab.

Dari polemik itulah ternyata prakteknya adalah orang tidak mesti bisa sama dalam memaknai konsep sunnah tersebut. Sehingga salah satu hal menarik dari otoritas religius ini adalah munculnya sunnah lokal seperti tradisi halal bi halal yang ternyata bersumber dari ajaran nabi yaitu "silaturahmi" dll. Sunnah tidak berhenti di masa lalu tetapi ada proses artikulasi yang riil hidup di masa kini. Sunnah tersebut adalah sebuah keniscayaan sebagai realitas sosiologis dan melahirkan tradisi sesuai dengan kultur yang berkembang di suatu wilayah.

Yang terpenting adalah otoritas di sini sangat berbeda antara bangunan agama dan kuasa dalam praktek ketatanegaraan. Hematnya adalah bahwa otoritas religius adalah relasi yang tidak hanya menghubungkan masa lalu, mentransformasikan ke masa kini melainkan sudah dipraktekkan lewat sikap dan keseharian. Maka dari itu dulu orang belajar agama cukup melihat pada kiai atau ulama dari segala aspek aktivitas tanpa membutuhkan dalil yang jlimet. Karena sesungguhnya kiai atau ulama yang memiliki relasi dengan sikap kenabian secara otomatis melahirkan otoritas religius tersendiri.[]

the woks institute l rumah peradaban 1/3/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...