Langsung ke konten utama

Wejangan Boss Heru Pemecah Kebuntuan Berpikir




Woko Utoro

Barangkali momen ini akan saya ingat selalu hingga tua. Sebuah momen untuk memecah kebuntuan berpikir dari Boss Heru. Ya, saya memiliki teman sekaligus boss di usaha ikan koki. Heru nama yang sering disematkan buat dia.

Heru adalah teman sejak kuliah S-1 di jurusan Tasawuf Psikoterapi. Singkat kisah bapak satu anak ini memiliki usaha budidaya ikan hias khususnya koki. Ia sudah menjalankan usaha tersebut kurang lebih 3 tahun. Karena ada beberapa hal yang mengharuskan ia pulang kampung. Dia pun memutuskan untuk pindah dan memasrahkan usahanya kepada saya. Orang yang bukan saudaranya tapi percaya sekaligus kasihan. Hemat saya Heru telah memberikan jalan berupa usaha dan jalan pikiran. Adapun jalan pikiran tersebut adalah :

Pertama, usaha ikan koki ini sudah berjalan. Maka dari itu fokus, serius dan belajarlah yang sungguh-sungguh. Karena ini bisnis jangan dibuat mainan. Kerja boleh saja santai tapi jangan di anggap remeh. Karena kita akan menghadapi banyak tantangan seperti customer, pasar, harga, cuaca, kondisi air, penyakit hingga penipuan.

Kedua, jangan malas dan belajar menjadi laki-laki. Kita harus kuat. Tahan banting dan jangan manja. Menjadi pebisnis itu siap untung dan rugi. Semua resiko harus dihadapi dengan dewasa. Tidak boleh cengeng dan cari solusinya. Seringlah berlatih, bertanya dan berjejaring. Jangan gengsi dan malu untuk bertanya.

Ketiga, belajar menjadi laki-laki. Laki-laki itu harus berprinsip. Tidak boleh ceroboh dan pastinya bertanggung jawab. Jangan sampai kita lemah dan penakut. Taklukkan segala rintangan yang ada. Jangan lupa laki-laki itu tetap berusaha, kerja dan berdoa. Sembunyikan segala permasalahan yang ada. Jangan biarkan orang lain tahu tentang masalah kita.

Keempat, jangan mau seperti tetangga sebelah yang malas dan culas. Kita harus rajin dan gigih berusaha. Berjuang dan bergerak. Tidak boleh mengeluh. Gapailah semua tujuan dengan sabar berproses. Jangan menelantarkan kewajiban. Kita harus siap dengan segala kondisi.

Kelima, jadi perantau itu harus siap perang. Jangan mau kalah dengan pribumi. Karena tidak akan ada orang yang peduli terhadap diri sendiri. Yang mengerti kita ya diri kita sendiri. Orang lain tak akan dan bahkan tak mau tau tentang apa yang kita jalani saat ini. Biarkan orang lain berkata apa. Yang penting tetap berproses dan melangkah.

Keenam, berusahalah jangan berhenti. Kita terus mencoba. Jika sudah diupayakan dan gagal setidaknya kita sudah mencoba. Tidak akan rugi orang yang berikhtiar. Pasti di balik proses semua akan membentuk mental. Jika sudah begitu kita akan siap dengan segala medan.

Ketujuh, jadi laki-laki itu harus bekerja dan meyakinkan. Dalam hal bicara, berprinsip dan berbusana juga perlu diperhatikan. Hal demikian itulah salah satu faktor penunjang di mana orang lain percaya. Jangan sampai kita justru terpuruk karena diri sendiri.

Kedelapan, bersahabatlah dengan tantangan. Ubah mindset dan jangan ragu dengan hal-hal baru. Selama mau belajar pasti akan ada jalan. Kuncinya terbuka dan mau belajar. Ingat bahwa kesempatan tidak datang dua kali.

Kesembilan, niatkan menghadapi hal baru sebagai pelajaran yang dapat diambil ilmunya. Setidaknya hal itu sebagai modal, bekal menghadapi kehidupan. Ingat masih banyak orang yang perlu kita bahagiakan. Dan kebahagiaan dan kesuksesan itu ada pada sikap dan keputusan kita sendiri.

Kesepuluh, kesuksesan itu harus dijemput. Harus diusahakan. Kita tidak bisa mengandalkan warisan atau justru mengekor bersama mertua. Kita harus berjuang sendiri. Karena hari esok tanggung jawab akan semakin besar. Maka dari itu persiapan sejak dini. Terutama mental, pikiran dan keimanan. Tak ada yang dapat menolong kita selain kuasa Tuhan.

Demikianlah motivasi dan petuah hidup dari Boss Heru. Mungkin kita bisa saja tidak sepakat. Tapi apa yang disampaikan sudah sangat jelas dan realistis. Semoga bermanfaat.[]

the woks institute l rumah peradaban 3/2/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...