Langsung ke konten utama

Orang-orang Culas : Catatan di BLK Pulosari




Woko Utoro

Senang sekali pada hari Rabu di penghujung Januari saya bisa mengikuti seleksi di BLK Pulosari Tulungagung. Seleksi tersebut dalam rangka mendapatkan kursi pada pelatihan yang dibiayai oleh APBD pemerintah provinsi. Ada juga pelatihan yang dibiayai oleh APBN dan dilaksanakan esok harinya.

Sejak pagi saya memang sudah bergegas untuk mengikuti seleksi ini. Tentu dengan harapan saya bisa masuk dan dapat mengikuti pelatihan. Kebetulan di sesi ini saya mengambil vokasi berupa pengelolaan catfish. Sedangkan teman yang lain menyebar di bagian multimedia, desain grafis dan administrasi perkantoran. Jika seleksi ini masuk maka kita akan mendapatkan fasilitas berupa makan siang, atk, ilmu, kaos, seragam dan sertifikat. Mungkin relasi dan jodoh bila beruntung.

Ada yang unik saat pelaksanaan seleksi di sini. Setidaknya ada dua hal yang saya amati dari dua sesi seleksi. Pertama ketika test tulis hampir mayoritas peserta laki-laki membuka google. Bahkan saya beberapa kali ditawari untuk membuka gadget. Dari sini saya aneh, mengapa orang tidak percaya dengan dirinya sendiri. Mengapa mereka lebih percaya jawaban benar dari google dari jawaban mereka sendiri. Padahal saya secara pribadi pun tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Atau memang sengaja saya tidak persiapkan dengan matang. Sebab jika saya lolos maka ada banyak agenda yang akan dicancel.

Kedua saat test wawancara atau interview. Ternyata hampir dari beberapa peserta memiliki jejaring orang dalam. Mereka masuk dengan tanpa susah payah. Termasuk juga seleksi secara formalitas. Dan hal itu sudah populer di era saat ini. Saya lantas berpikir ternyata begini dunia makin sempit dan memang telah dikuasai oleh sebagian orang.

Dari dua hal itu saya melihat masyarakat kita memang culas. Mereka tidak mengikuti proses dengan normal. Mereka bahkan selalu melewati jalan pintas. Dan di sinilah orang-orang jujur sangat sulit ditemukan. Fakta membuktikan bahwa di tempat manapun pasti akan ditemukan hal serupa. Tinggal bagaimana kita berpikir dan bertindak sesuai dengan hati nurani.

Terakhir alhamdulilah pada esok harinya pengumuman tiba. Saya mendapatkan kabar jika nama saya masuk ke dalam peserta yang lolos. Walaupun sebenarnya sempat ragu akhirnya saya bersyukur. Semoga saja bisa menjadi jalan agar saya tetap produktif dan sukses. Amiinn.

the woks institute l rumah peradaban 3/2/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...