Langsung ke konten utama

Shalat Sebagai Titik Kehidupan




Woko Utoro

Bicara Isra Mi'raj tentu langsung merujuk pada shalat sebagai esensi utama. Populer di manapun orang akan menyebut bahwa shalat adalah ajaran utama umat Islam. Bahkan kewajiban yang dibuka dengan niat dan diakhiri salam itu menjadi pembeda dari ibadah umat lain. Maka dari itu rajab, Isra Mi'raj dan shalat menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.

Hal itu juga disampaikan oleh Mbah Haji Matori pada acara peringatan Isra Mi'raj di Masjid Riyadul Jannah Srigading Plosokandang. Kebetulan kami para santri PPHS turut serta memeriahkan dengan membaca shalawat. Dalam ceramahnya Mbah Haji Matori menyampaikan bahwa esensi Isra Mi'raj itu ada tiga yaitu, kesedihan, harapan langit dan hadiah shalat.

Pertama, di saat Nabi Muhammad SAW bersedih karena ditinggal istri dan pamanya maka Allah mengundang beliau dalam perjamuan langit. Kedua, perjamuan langit itu memang sudah disusun proposalnya sejak lama karena keinginan langit. Kata Mbah Haji Matori dulu langit itu iri karena Nabi Muhammad SAW sosok mulia itu berada di bumi. Maka dari itu langit berharap jika diperkenankan manusia agung itu naik ke langit walaupun sebentar saja. Ternyata doa dan harapan itu terkabul dalam peristiwa Isra Mi'raj. Ketiga, oleh-oleh dari bertamu itu adalah shalat.

Shalat adalah istirahat kata nabi. Shalat mirajul mukminin atau cara untuk selalu naik kepada Allah. Shalat adalah amalan pertama yang dihisab. Shalat itu perwajahan. Jika sholatnya baik maka wajah itu begitu cantik dan sebaliknya. Maka dari itu kata Mbah Haji Matori output memperingati Isra Mi'raj bukan banyak jamaahnya atau kondang mubaligh nya melainkan berbekas.

Jika belum shalat jadi shalat. Jika dari belum jamaah jadi rajin berjamaah. Jika sudah yang wajib juga yang sunnah juga rajin. Keutamaan shalat berjamaah itu unik. Mbah Haji Matori berkisah jika dulu ada cerita jika di tangan kanan ada 20 pahala dan 7 di tangan kiri. Singkat kisah pahala 27 tersebut hanya bersisa 1 saja karena di tangah kanan jatuh dan di tangan kiri berkarat. Lantas apa maksud dari semua itu? Seorang sahabat bertanya pada nabi. Lalu nabi menjawab bahwa pahala yang hilang itu adalah karena kita shalat sendiri.

Menurut cerita dari Mbahnya Mbah Haji Matori dapat cerita bahwa Mbah Kiai Asrori Ibrohim (PP Panggung) menganalogikan jika shalat berjamaah itu ibarat orang ikut tahlilan. Semua orang jamaah tahlil tersebut mendapat pahala yang sama. Walaupun di sana ragam jama'ah ada yang fasih, khusyuk, atau bahkan tidak bisa baca semua mendapat pahala yang sama. Demikian berkahnya orang berjamaah.

Bahkan ada sahabat dulu yang rela mencari jamaah untuk shalat bersama. Sebab kehilangan jamaah tidak ada gantinya. Dalam riwayat Nabi Muhammad SAW pernah berkata jika ada salam Yahudi dari umat beliau. Ternyata maksudnya yaitu orang Muslim yang pura-pura tidak mendengar ketika adzan berkumandang. Dalam Kitab Minahu Saniyah disebutkan jika kita banyak bershalawat di bulan rajab maka akan meminum air madu atau susu dari sungai di surga. Demikian catatan dari peringatan Isra Mi'raj 1445 H semaoam. Semoga bermanfaat.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/2/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...