Langsung ke konten utama

Pentingnya Ilmu daripada Harta




Woks

Kiai Sholeh bercerita dalam sebuah acara "Lailatus Shalawat" tentang betapa pentingnya ilmu. Suatu ketika Mbah Ma'ruf Kedunglo berkendara bersama khadamnya ke daerah Ngawi. Ketika sampai di tengah hutan mobil berhenti lantas beliau bertanya pada khadamnya ketika saat itu perut terasa keroncongan.

"Kang aku takok, menurut mu penting ndi ilmu karo bondo?"

"Yo penting bondo, mbah iso tuku sembarang-barang".

"Yowes saiki aku pingin mangan pie jal?"

"Yo angel to mbah, wong iki nek tengah alas".

Lantas Mbah Ma'ruf pun berdo'a.
Selepas berdo'a tiba-tiba datang seorang dari kejauhan dengan memberikan bantuan dan makanan. Lantas beliau pun bertanya pada khadamnya.

"Pie kang saiki, penting ndi ilmu karo bondo?"

"Yo ilmu Mbah. Tapi kan seje antara aku kro Mbah yai hmzz"

Kisah selanjutnya pun dituturkan oleh Haji Toha, beliau adalah sesepuh dusun Srigading dan juga ketua takmir Masjid Riyadul Jannah. Suatu ketika di saat mondok di Krapyak Jogjakarta beliau mengatur rencana bersama temanya yaitu Kang Haidar untuk ke Wonosobo.

Katanya kita akan sowan kepada Kiai Muntaha Wonosobo. Setelah sowan lucunya beliau diajak nyolong tebu bersama temanya itu. Sebenarnya Pak Toha tidak ingin hanya saja Kang Haidar berkata, "wes tenang wae barokah e Mbah Muntaha semua beres".

Singkat cerita ketika nyolong tebu tersebut mereka akhirnya ketahuan sang pemilik dan akhirnya di antar kembali ke Jogja. Sesampainya di sana alih-alih akan dihukum ternyata mereka malah bertemu Kiai Kholiq (PP. Mbah Dul TA) yang menjelaskan bahwa mereka selepas sowan ke ndalemnya Kiai Muntaha. Singkatnya mereka pun selamat dari hukuman.

Kata Pak Toha untuk urusan nyolong pun jangan sampai berani-berani tanpa ilmu. Jika tanpa ilmu bisa saja kita dimasa orang banyak. Mereka pun akhirnya tertawa.

the woks institute l rumah peradaban 25/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...