Langsung ke konten utama

Review Buku Embun Jiwa (Bikin Hidup Lebih Hidup)



Woks

Seperti pohon yang merana dan kering di musim kemarau, jiwa pun bisa meranggas.

Begitulah kiranya kalimat pembuka sekaligus mantra yang terdapat dalam buku ini. Membaca buku ini secara utuh percis menggambarkan judul utama yaitu seperti embun di tengah kegersangan jiwa. Meskipun setetes embun jika itu petuah sangatlah penting bagi jiwa yang kering. Buku dengan jenre motivasi dan pengembangan diri ini ditulis oleh Waidi seorang pakar NLP (Neuro Linguistic Programming).

Buku ini mengajak kepada pembaca untuk menginterupsi waktu di tengah kesibukan yang mudah melupakan diri. Orang-orang justru mudah abai dengan hal-hal yang bersifat esensial. Mereka mudah lupa untuk tidak memperhatikan masalah hati, pikiran dan jiwa. Akibatnya jiwa menjadi lemas, hidup menjadi langka dan dangkal. Waidi sebagai ahli masalah pikiran menyuguhkan banyak judul tulisan untuk memprovokasi agar seseorang bisa produktif serta selalu berorientasi kepada titik Tuhan (god spot).

Buku yang bertajuk "Break Time for the Soul" tersebut terdiri atas beberapa bagian di antaranya membahas tentang the soul for personal life transformation, the soul for social life, dan the soul for spiritual life. Waidi sepertinya terpengaruh Ari Ginanjar dengan ESQ-nya hal itu terbukti dari berbagai artikel yang selalu mengajak untuk memperhatikan aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Potensi tersebut harusnya dimaksimalkan agar seseorang meraih keluasan pikiran, kedalaman hati, dan kelapangan jiwa.

Buku ini saya rasa telah berhasil membuat secercah harapan di tengah kesibukan menjadi hidup.  Waidi mampu meracik seperti artikel yang sengaja diambil dari pengalaman sehari-hari. Misalnya pada artikel berjudul Gigo atau garbage in garbage, Waidi mengingatkan bahwa jika seseorang memiliki pikiran seperti sampah maka yang dimengeluarkan pun tak jauh beda dari sampah. Artikel ini barangkali sesuai dengan kondisi saat ini di mana masih banyak orang yang berkata tidak sesuai tempatnya. Akibatnya dari kata-kata menjadi petaka.

Satu hal lagi misalnya bahwa pikiran jika sudah berkolaborasi dengan hati maka outputnya adalah hal yang positif dan memang pikiran itu sejatinya menghendaki ke arah positif. Akan tetapi karena ego lah yang membuat manusia lupa diri. Banyak keinginannya daripada kebutuhan akan introspeksi diri. Saya rasa isi buku ini perlu dibaca secara utuh agar jiwa kita yang gersang bisa tercerahkan kembali. Selebihnya serahkan segala urusan kepada Tuhan karena hanya kepadanya kita bisa berjalan dengan cahaya sekalipun di tengah gelap gulita.

Judul : Embun Jiwa (Bikin Hidup Lebih Hidup)
Penulis : Waidi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2012
Tebal : 398 hlm
 

the woks institute l rumah peradaban 26/10/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...