Langsung ke konten utama

Melacak Manusia Melacak Semesta




Oleh Woko Utoro*

Jika membaca Yuval Noah Harari dalam Sapiens nya tentu kita akan terserahkan bahwa proses perkembangan manusia dari kelahirannya hingga kini terbilang rumit. Manusia sebelum menjadi seperti saat ini disebut homo dan sapienlah satu-satunya spesies homo yang masih tersisa hingga kini. Jauh setelah Yuval menuliskan kisah kelahiran sapiens kini perkembangan ilmu pun begitu pesat tak lain karena daya cipta manusia. Manusia yang disebut homo sapiens lah yang menurut Yuval satu-satunya yang mampu menggunakan pikirannya. Akan tetapi jika ditarik ke masa kini pro kontra mengenai pengertian manusia itu sendiri masih tak kunjung usai seolah-olah manusia sangat sulit didefinisikan.

Kita kesampingkan dulu teori manusia berasal dari mana seperti halnya teori Darwin yang terkenal itu. Kini kita akan diajak menjelajah manusia dalam perspektif Barat dan Islam. Sebelum itu bolehlah bertanya mengapa Barat dengan konotasi arah mata angin harus di hadapkan dengan Islam yang merupakan sebuah agama. Sederhana adalah karena Barat justru lebih banyak mengkaji tentang ke-islaman. Bahkan kini Barat telah mengalami sekularisme di berbagai sisi kehidupan. Di Barat agama menjadi hal yang privat, hal itu bisa dilihat bahwa kekristenan hanya muncul sesekali misalnya dalam penobatan raja atau mengukuhan presiden.

Secara sempitnya hubungan agama dan Barat itu sendiri sejatinya tidak harmonis. Barat juga tidak lebih dari sebuah geografis bisa dilacak ketika seseorang ke Australia di sana juga disebut Barat. Sedangkan Islam itu tidak hanya sekadar agama melainkan bisa juga ideologi, kepercayaan, kubu, serta isme-isme. Maka pantaslah jika Barat selalu berhadapan dengan Islam bukan Timur. Karena Islam sendiri sesungguhnya adalah intisari dari Timur sedangkan Timur justru mayoritas menganut asas-asas Islam tidak hanya agama tapi corak dan nilai kehidupan.

Pandangan Barat dan Islam Mengenai Manusia

Selama ini Barat telah tergesa-gesa dalam mendefinisikan manusia. Mereka masih berpandangan parsial karena manusia hanya dipandang secara rasio empiris. Pandangan miring tersebut di antaranya bahwa manusia adalah hewan atau animal symbolic (yang memahami simbol-simbol), animal education (yang bisa dididik), animal rational (yang berpikir) dan das krake tier (hewan yang selalu cemas dan gelisah).

Sejak lama selain istilah hewan Barat juga mengistilahkan manusia dengan homo, misalnya manusia ekonomi (homo economic), manusia teknologi (homo faber), manusia agama (homo religion), manusia bahasa (homo laquen), manusia yang senang mengadakan perayaan (homo festivus), dan manusia cerdas (homo sapiens). 

Istilah lain seperti mecanism (manusia mesin), psikoanalistik (hanya dorongan libido dan insting), humanistik (kecenderungan positif), behavioral (dibentuk dari luar dirinya), organism (sebuah keseluruhan, bukan angka-angka), kontekstual (hanya dipahami sesuai konteknya, manusia bagian dari lingkungan) juga berkembang. Pandangan terakhir ini tentu sudah tercatat sejak lama dalam bahasa zoon politicon Aristoteles alias manusia sosial yang butuh akan kehadiran orang lain.

Menurut Islam barangkali pandangan Barat mengenai manusia adalah hewan tidak juga salah jika di tinjau dari segi hakikat tasawuf. Karena tasawuf memandang secara hakikat bahwa ketika manusia kehilangan kendali maka kemanusiaannya hilang. Dalam bahasa ulama manusia jika baik maka bisa melebihi malaikat sedangkan ketika mereka buruk bisa sama rendah dari syeitan.

Islam sendiri memandang manusia dengan istilah abdun (manusia ibadah), nass (manusia sosial), khalifah (manusia pemimpin), bani Adam (manusia biologis), insan (manusia transenden), dan basyar (manusia fisik). Pandangan tersebut tentu disesuaikan dengan karakter asli manusia yaitu kemampuan menyadari diri, berekspresi, mengikuti kata hati, moral aturan, kebebasan, melaksanakan kewajiban dan hak, dan menghayati kebahagiaan. Dengan begitu pandangan Islam tampak positif dan sekaligus mempertanyakan apakah ada mahluk di luar manusia yang mampu menghayati kebahagiaannya?

Islam memandang bahwa manusia dengan tinjauan holistik yaitu mahluk yang berpotensi di antara potensi itu teridi atas; potensi naluriah (emosional), inderawi (fisikal), akal (intelektual), dan agama (spiritual). Setelah itu diurai kembali dalam sebuah perkembangan potensi seperti; secara filosofis manusia itu kesetiaan, mengabdi, dan menyembah. Secara kronologis manusia adalah mahluk evolutif (tumbuh kembang). Secara fungsional manusia berfungsi sesuai kebutuhan dan keadaan dan secara sosial manusia selalu berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lainnya.

Bahkan Islam memandang manusia yang bermasalah itu sangat sederhana, misalnya apa yang disabdakan Nabi bahwa manusia buruk itu ialah mereka yang suka marah secara membabi buta, sedangkan manusia terbaik adalah yang punya rasa malu. Dengan sikap malu saja manusia bisa mulia lebih lagi dengan kejujuran, keikhlasan dan kesabaran.

Apa implikasinya jika manusia keluar dari rel kemanusiaannya. Barangkali kondisi jiwa adalah kondisi natural hidupnya. Jiwa menggambarkan khualitas hidup manusia. Ketika orang misalnya menganggap bahwa bunuh diri merupakan tindakan yang sah maka perlu dipertanyakan apakah jiwanya terganggu atau tidak. Karena bisa jadi pernyataan tersebut memang berasal dari problem hidup dan dari jiwa yang sakit.

Bagi para salik atau murid yang datang kepada mursyid berarti mereka sedang sakit. Sehingga butuh petunjuk dari tabib untuk menyembuhkan penyakitnya. Semua pesakitan yang dialami tubuh adalah karena faktor kejiwaan dan pikiran negatif. Mengapa hal itu terjadi karena rasa tidak nyaman dan ketidakmampuan untuk menerima. Akibatnya emosi memuncak, tak terkendali, mudah melampiaskan kepada hal-hal negatif itu adalah akibat reaksi dari guncangan jiwa. Jiwa yang telah dipenuhi ammarah akan sulit dikendalikan sehingga perlulah untuk bagaimana jiwa tersebut dikembalikan ke posisi semula yaitu mutmainah.

Kepribadian atau karakter sesungguhnya sangat berhubungan dengan kondisi jiwa. Jika Barat berbicara demikian berarti pandangan mereka memang di lihat dari multi sudut pandang (tingkah laku, observasi, alat ukur, angka-angka, laboratorium dll) sedangkan Islam dengan abstraksi keimananya melihat manusia secara lebih mendalam (sisi ruhi, jasadi dan akhlaki). Karena pendekatan yang berbeda tentu pandangan tersebut hanya akan dijembatani pada kondisi tertentu seperti manusia kehilangan aspek jiwanya.

Secara lebih sederhana ketika seseorang telah menemukan dirinya, permasalahnya dan solusinya maka sejatinya mereka telah menemukan semestanya. Siapa yang menemukan dirinya berarti ia akan menemukan Tuhanya. Problemnya hingga saat ini manusia tidak tahu siapa dirinya, dari mana, mau apa dan akan kemana. Jangankan untuk menemukan siapa dirinya, untuk sekadar mendiagnosa penyakit hati yang menjangkitinya pun manusia belum mampu. Padahal kita tahu penyakit hati adalah penyebab dari lebih rendahnya manusia daripada malaikat. Karena mereka yang seharusnya memakai sifat Tuhan (lahut) malah justru mengikuti nafsu hewani (nasut). Dengan begitu pekerjaan pencarian tentang kedirian ini sejatinya hingga sepanjang hayat.

*Mahasiswa Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

*Disampaikan dalam acara diskusi 9/10/21 di Warkop Sawah Tanjung Sari Boyolangu

*Tulisan ini dipost juga di laman Komunitas Utang Rasa

Sumber rujukan :

Siti Khasinah, Fakultas Tarbiyah IAIN Ar Raniry Banda Aceh. Hakikat Manusia Menurut Pandangan Islam dan Barat, Jurnal ilmiah DIDAKTIKA vol. VIII, No. 2 Februari 2013. 

Erik Saut H Hutahaen, Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Kondisi Jiwa dan Kondisi Hidup Manusia, Jurnal Psikologi vol. 2, No. 1 Desember 2008.

H.A.R Gibb, dkk, Dunia Tasawuf (Refleksi Para Cendekiawan Mengenai Tasawuf), Sega Arsy, 2016.

Yuval Noah Harari, Sapiens A Brief History of Humankind, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), cet. ke-6 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...