Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar : Healing dan Humor




Woko Utoro

Senang rasanya bisa mengikuti Kopdar perdana SPK setelah sekian purnama hanya mampir dalam wacana. Walaupun tubuh belum pulih karena sakit saya tetap memaksakan hadir di momen langka ini. Ternyata benar juga di sana saya berjumpa dengan sosok-sosok luar biasa. Beliau-beliau datang dari jauh-jauh seperti Watulimo Trenggalek, Kediri, Blitar hingga Bandung TA bahkan ada dari Pacitan. Ahh saya terlalu hiperbola padahal ada juga dari Ciamis dan Indramayu yang sudah lintas provinsi.

Kopdar kali ini dilaksanakan di Ndalem Kasepuhan Prof Ngainun Naim, Perum BMW Madani Bago. Dengan membawa tema, Ruang Tamu Ruang Ilmu. Maksudnya "Ruang Rindu Ruang Ilmu". Acara ini dibuat sederhana dan penuh ke-gayeng-an. Demikianlah adanya karena kita adalah pejabat teras maka tempatnya pun di teras emperan. Kata-kata itulah yang membuat gerr-geeran semua anggota. Alhamdulillah anggota yang hadir hampir semua dari jumlah yang konfirmasi.

Dari banyak hal yang saya ikuti sejak awal hingga akhir setidak ada 2 hal dan menjadi catatan ini. Pertama soal healing, kata Prof Naim di hari Minggu orang lain healing mungkin bisa saja ke pantai, mall, atau pegunungan sedangkan kita berkumpul di sini. Ternyata healing yang dimaksud adalah saling bertegur sapa, saling bersulam rindu. Saya ketika didaulat menjadi moderator menyebutkan bahwa tak kenal maka tak menyapa. Akhirnya kita bisa healing bersama karena bertegur sapa. Bisa saling kenal satu dengan lainya. Terlebih di luar ekspektasi panitia beberapa anggota membawa jajan tersendiri dan ini tentu menyenangkan saya yang anak pondok.

Selanjutnya humor, bagian dari healing adalah berbagi tawa. Di sinilah menurut saya mahal harganya. Karena humor dan kehangatan, keakraban sesama anggota yang awalnya belum kenal adalah sesuatu yang luar biasa. Di kota-kota besar misalnya untuk memesan tawa mereka memerlukan tiket ke acara sirkus atau stand up comedy. Sedangkan di sini sejak awal hingga akhir full tertawa. Sampai-sampai saya bingung di momen mana yang kita sebut sebagai hal serius.

Saya jadi ingat Gus Dur bahwa humor berfungsi sebagai katalisator. Artinya selain melenturkan otot-otot yang awalnya tegang humor juga berfungsi menarik benang kusut melepas penat aktivitas harian yang begitu padat. Maka tidak salah jika pengajian yang berbau humor saat ini diminati banyak orang. Itu pertanda bahwa humor sebagai pelarian atas kesumpekan hidup yang berujung. Cuma yang menjadi catatan adalah humor harus dilontarkan dengan sikap yang merendahkan. Humor itu menghidupkan sekaligus membuat orang berpikir hal apa yang membuat saya harus tertawa.

Akhirnya demikianlah singkat kisah tentang suasana Kopdar SPK perdana ini. Tentu kita akan selalu merindu saat-saat di mana Prof Ngainun Naim mengeluarkan jokes di luar ruang kuliah. Kita juga merindu ketika masing-masing anggota berkenalan. Kita juga merindu di saat Ndan Agus mengetuk pintu langit lewat doa Fatihahnya. Pastinya kita akan merindu anggur Jowo yang begitu khas. Matursuwun riuh keceriaan, ruang kebersamaan, dan raung kehangatan. Sekali lagi inilah ruang rindu ruang ilmu. Semoga kita bersua di ruang-ruang lain yang lebih hangat. Salam Literasi.[]

the woks institute l rumah peradaban 16/10/23

Komentar

  1. Allahumma Full barokah. Aamiin...

    BalasHapus
  2. Jiwa humor mas Woko sudah kelihatan dari foto senyum paling lebar 😊👍

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah senang sekali bisa hadir di moment ini.. Berkah manfaat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...