Langsung ke konten utama

Santri Tulungagung Culture Carnival 2023




Woko Utoro

Tulungagung -(29/10/23) Kami mengikuti pawai ta'aruf dalam rangka Hari Santri Nasional (HSN) 2023. Saya secara pribadi sangat terkesan bisa berpartisipasi di acara itu. Saya mengikuti barisan MWC NU Sumbergempol. Kebetulan saya masuk dalam barisan wali songo. Sehingga mau tidak mau saya harus cosplay ala wali songo khususnya Sunan Bonang.

Kami berangkat pagi langsung menuju Kantor MWC NU Sumbergempol. Ketika di sana saya dan Pak Calvin langsung mencari sarapan. Ternyata sarapan kali ini kami menemukan Soto Lamongan. Sebenarnya yang kami pesan adalah soto ternyata si penjual malah membuatkan pecel lele plus ayam goreng. Habislah uang kami yang awalnya transport pawai karena harga ayam goreng begitu melangit. Singkat kisah kami pun berangkat dengan diantar mobil pribadi milik pengurus NU.

Sampai di lokasi kami langsung merapikan barisan dan seragam. Kami memakai selempang yang sudah disediakan dengan tulisan nama-nama wali. Walaupun busana walinya kurang begitu pas akan tetapi kami percaya diri untuk tampil di barisan depan. Kami mengikuti barisan di belakang pendekar Pagar Nusa, lalu disusul para pahlawan, sahabat Fatayat, sepeda hias, hingga orkes sound dan angklung band.

Di sana barisan dari kontingen lain sudah semarak dan gegap gempita. Ratusan pasang mata menyaksikan di sepanjang jalan utama. Bendera dan segala macam simbol identitas baik NU dan merah putih berkibar jernih. Pawai sound, musik tradisional hingga drumband tampil begitu meriah. Belum lagi rombongan baju adat Nusantara dan replika bambu juga turut meramaikan suasana. Dan tak kalah menariknya santri-santri putri yang manis dan ayu berlenggak lenggok ala model catwalk.

Kami berangkat diurutan ke-6 sesudah kecamatan Pucanglaban dan Kauman. Dengan rute awal start di depan Kantor Bupati, lalu ke timur hingga utara stasiun, ke barat melewati kampung Banjar dan belok kanan ke barat markas TNI sampai ke alun-alun. Di sana kami mampir sejenak untuk unjuk kebolehan di depan para pengurus NU kabupaten dan para kiai. Rasanya dag-dig-dug ser dan sedikit menahan tawa. Memang sejak awal saya selalu menahan tawa karena tidak kuat banyak orang yang dikenali menyapa. Bahkan tidak jarang banyak orang yang mendokumentasikan berupa foto dan video.

Hingga akhirnya rombongan kami finish di barat Masjid Agung Al Munawwar. Tepat di sekitar perempatan 55 kami istirahat sembari menunggu angkutan. Di sana beberapa ibu pengurus NU Sumbergempol dengan sigap memberi kami air, snack dan nasi kotak. Peran mereka memang besar sejak awal keberangkatan. Jika tidak ada mereka mungkin kami sudah kelaparan. Karena memang suhu juga sangat panas.

Dari acara yang disingkat STCC tersebut saya selalu belajar bahwa jasa besar NU adalah merawat kebersamaan kalangan akar rumput. Karena kata Mbah Wahab tak ada obat mujarab bagi bangsa selain persatuan. Maka dari itu pawai ini selain memacu kreativitas juga dalam rangka memupuk persatuan. Hingga akhirnya kami harus mengucapkan selamat kepada MWC NU Kalidawir yang mendapat juara 1 disusul MWC NU Ngunut dan MWC NU Gondang. Semoga tahun depan kita bertemu kembali. "Jihad Santri Jayakan Negeri".

the woks institute l rumah peradaban 31/10/23

Dokumentasi foto:






















Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...