Langsung ke konten utama

Catatan Kopdar : Menemukan Ruang Menulis




Woko Utoro

Terus terang saja tema Kopdar SPK tahun 2023 ini saya yang buat. Walaupun kesannya guyonan alias asal jadi tapi tema tersebut tidak asal-asalan apalagi jadi-jadian. Yang jelas ruang rindu terinspirasi dari lagunya Letto. Kau datang dan pergi begitu saja, semua ku terima apa adanya //
Mata terpejam dan hati menggumam, di ruang rindu kita bertemu.

Intinya kita memang membutuhkan ruang untuk berekspresi. Dalam hal ini komunitas menulis yang pasti tulisan menjadi ruh utamanya. Kata Prof Ngainun Naim mungkin saja kita menulis karena grup menulis. Coba jika tidak tergabung dalam grup menulis sangat kecil kemungkinan jika kita tetap menulis. Selanjutnya ruang rindu adalah ruang pertemuan. Bukankah pertemuan adalah puncak dari kerinduan?

Hikmah dari orang bertemu tentu banyak sekali. Kita yang berawal dari desas-desus seketika bertemu aslinya akan terjawab sudah. Kita yang berawal dari sekadar imajinasi seketika bertemu lahirlah inspirasi. Dalam pertemuan tentu ada pertukaran. Baik itu pertukaran ide, gagasan atau jokes segar yang tidak bisa dibeli dengan uang. Lewat pertemuan itulah inspirasi menulis lahir dalam bahasa Prof Ngainun Naim "belanja ide". Jika setiap orang membawa belanjaan berupa ide maka akan banyak tulisan yang dihasilkan.

Selanjutnya ruang ilmu. Kita tentu tahu di era pandemi seminar, talk show, ceramah ilmiah sampai khotbah dan konten-konten keilmuan disebar secara digital. Setiap orang bisa mengakses dengan mudah. Keilmuan seolah sedang diobral. Tentu hal itu berdampak positif tapi dalam catatan bagi mereka yang memiliki pembacaan berkesadaran. Sebanyak apapun keilmuan digelar jika di ranah online tidak se-asyik ketika kita bertemu langsung. Maka dari itu dalam istilah pesantren kita memerlukan mujalasah, musyahadah dan musyafahah.

Terakhir saya sempat berpikir dua hal tentang SPK ini. Pertama, SPK adalah ruang ilmu yang tentu mengajak orang untuk membumikan literasi. Utamanya membaca dan menulis kita belajar untuk menjadi manusia yang berbeda. Dengan membaca seseorang akan bertambah pengetahuan dan bahasanya. Dengan menulis seseorang akan tahu caranya berbagi.

Kedua, tak ada yang lebih tabah dari SPK. Sebuah grup menulis yang hampir 5 tahun sejak 2018 mewadahi sekaligus memaklumi orang-orang yang bercita-cita bisa menulis. Fakta di lapangan yang menulis tidak ada separuh dari anggota grup. Jika boleh saya ilustrasikan, SPK itu manusia lantas hati macam apa yang tetap setia pada orang-orang yang sampai detik ini belum menulis. Ternyata hati SPK adalah Hati Suhita, ehhh hati seluas samudera.[]

the woks institute l rumah peradaban 17/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...