Langsung ke konten utama

Grebeg Maulud Perdikan Majan 2023




Woko Utoro

Sore itu saya bergegas menuju Majan. Antusias hadir di acara majelis dzikir Al Khidmah memang sudah direncanakan sejak awal. Saya berpikir kehadiran kali ini adalah bayar hutang atas keabsenan saya tempo hari di acara haul akbar Kabupaten Tulungagung. Akhirnya selepas isya saya langsung tancap gas.

Alhamdulillah malam itu bertalu rindu. Sebelum duduk di majelis saya sempatkan dulu sowan ke Mbah Khasan Mimbar. Di sana saya memanjatkan doa secukupnya. Setelah itu barulah saya duduk mencebur bersama jamaah di bawah panggung. Yang dalam hal ini sebenarnya memang nyaman di serambi masjid daripada panggung gembira.




Singkat kisah acara dimulai termasuk pembacaan manaqib sampai maulid. Saya menikmati sentuhan pembacaan manaqib yang khas itu. Hingga akhirnya sampai pada sambutan dan mauidhoh hasanah. Seperti biasa Raden Ali Shodiq menjelaskan bahwa acara grebeg mulud dilaksanakan setiap tahun dan pastinya khas keraton Jogja. Termasuk di Majan grebeg mulud adalah acara puncak proses pengagungan manusia Jawa terhadap Baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Tiba saatnya mauidhoh hasanah kali ini disampaikan oleh Dr. KH. Muntahibun Nafis, M.Ag. Beliau merupakan dosen UIN SATU sekaligus pengasuh Pesantren Al Mimbar 1, saya biasa memanggil beliau Pak Nafis. Dalam mauidhoh hasanah beliau menyampaikan bahwa mengikuti majelis dzikir itu sangat luar biasa. Terlebih mengikuti guru mursyid sebagai penunjuk jalan kepada Allah.

Dalam mauidhoh hasanah Pak Nafis lebih banyak menjelaskan menggunakan ilustrasi. Misalnya para arifin sholihin itu ibarat bola lampu yang memancarkan cahaya. Jika seseorang dekat dengan lampu maka bayangannya juga dekat. Sedangkan bayangan itu ibarat dunia yang hina kita injak. Arti lainya jika dekat dengan sumber lampu maka akan mudah dikabulkan hajatnya. Berbeda dengan mereka yang jauh dari sumber lampu maka akan sulit bahkan hidupnya gelap.

Pak Nafis menyebut kita yang dekat dengan sumber cahaya itu adalah "wong jero" atau orang dalam. Bukan sekadar dekengane pusat (sandaran pusat) tapi kita sudah di dalam bagiannya. Salah satu ciri dari keselamatan hidup tak lain karena faktor mencintai. Beliau berkisah tentang seorang Arab Badui yang bertanya pada nabi kapan hari kiamat. Singkat kisah nabi bertanya jika kiamat tiba apa yang sudah dipersiapkan? si Badui tersebut menjawab, saya tidak memiliki apapun kecuali cinta pada Allah dan rasul-nya.

Lalu nabi menjawab :
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
"Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai".

Salah satu cara mencintai nabi yaitu dengan menghidupkan sunnahnya.
مَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ

"Barangsiapa menghidupkan sunahku, maka berarti ia mencintaiku dan barangsiapa yang mencintaiku, maka berarti ia bersamaku di surga”.

Pak Nafis juga mengilustrasikan isian gelas dalam proses menimba ilmu. Kata beliau awal sebelum gelas diisi si murid harus diam. Jadi jika bertemu guru awalnya harus diam, tidak rewel, sab'atan wa thoatan. Bagaimana gelas ingin diisi jika awalnya terus bergerak. Ini sama bahwa sebelum diisi ilmu, akhlak didahulukan. Santri harus bersiap dulu mendengar titah gurunya baru setelah itu ada proses dimasukkan ilmu. Santri tidak boleh protes yang ada adalah proses.

Terakhir Pak Nafis mengajak jamaah untuk terus mengikuti thariqoh KH Ahmad Asrori. Karena ikut guru yang sanadnya jelas adalah kemuliaan. Kita juga tidak usah khawatir akan masa depan. Karena Gusti Allah akan mengangkat derajat seseorang karena iman dan ilmunya. Salah satu derajat bisa diraih dengan terus berkhidmah.

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. رواه البخاري.

the woks institute l rumah peradaban 10/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...