Langsung ke konten utama

Hari Santri Yang Menyenangkan




Woko Utoro


Di momen hari santri tahun ini ada yang berbeda. Jika tahun lalu saya mengikuti pawai HSN bersama teman santri di Tapan. Namun kali ini saya justru mengikuti upacara hari santri di Pesantren Subulussalam. Suasana berbeda itu justru membuat saya gugup. Pasalnya saya bertindak sebagai tamu alias dewan asatidz. Rasanya campur aduk. Saya kadang berpikir apakah diri ini layak disebut guru?


Singkat kisah saya dan Mas Thoriq mengikuti upacara HSN bersama pengasuh yaitu Bunda Salamah dan Abah Zainal. Kami bersama asatidz lainnya mengikuti rangkaian upacara awal hingga akhir. Tentu yang membuat kami khusyu adalah ketika lagu Indonesia Raya bergema merdu. Rasanya seperti ruh para pahlawan hadir sebagai pejuang kusuma bangsa. Kami hanya bisa mendoakan khususnya buat para pejuang kaum santri yang telah wafat semoga Allah menempatkan mereka di sisi yang mulia.


Singkat kisah setelah upacara usai kami langsung memasuki sesi foto. Sesi foto inilah yang sebenarnya saya hindari. Saya tidak ramah jika harus berada di depan kamera. Tapi apalah daya foto adalah identitas eksistensi dewasa ini. Bahkan sampai di ruang ramah tamah pun kamera masih mengintai. Dan hal itulah yang membuat saya selalu menunduk. Termasuk kehadiran Mba Zun yang tempo hari saya ajak kenalan.


Selanjutnya sesi makan bersama dimulai. Saya menyaksikan betapa mesranya pengasuh ketika potong tumpeng. Hingga akhirnya kami pun menyantap jamuan yang telah ada. Saya sendiri makan secukupnya dan tak lupa secangkir kopi meluncur lebih cepat. Mungkin inilah tasyakuran hari santri di mana kita bisa berbagi dan berkisah tentang perjuangan.


Terakhir di dalam momen hangat itu saya mencatat ada hal penting utamanya ketika Bunda Salamah berkisah. Beliau dulu berkisah ketika kuliah di Jogja. Kata Bunda seorang santri harus memiliki riwayat berjuang. Karena dengan perjuangan itu mereka akan tahu betapa sesuatu diraih tidak mudah. Kita perlu berjuang untuk mengikis rasa manja dan malas dalam diri. Demikianlah akhir kisah di momen hari santri semoga kita bisa bersua lagi. Selamat hari santri, Jihad santri jayakan negeri.[]


the woks institute l rumah peradaban 25/10/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...